Kamis, 25 Oktober 2012

ARTIKEL REVIEW EFFECT OF INDUCTION OF HYPOTHERMIA FOR INTRACRANIAL HYPERTENSION AFTER TRAUMATIC BRAIN INJURY


EFFECT OF INDUCTION OF HYPOTHERMIA FOR INTRACRANIAL HYPERTENSION AFTER TRAUMATIC BRAIN INJURY

REVIEW

ABSTRACT
            Intracranial pressure can be measured as a total amount of pressure of brain, blood and its vessels and also the cerebrospinal fluid intracranially. To maintain a normal constant pressure, due to the increase of intracranial pressure, a reduction of brain volume will happen. Increased of intracranial pressure in severe traumatic brain injury associated with recovery, influenced by the intracranial pressure’s value and duration of the increased of intracranial pressure.
This paper aims to review the hypothermia method, as a second tier therapy of intracranial hypertension in Emergency department and Intensive Care Unit, could give neuroprotective effect to the basic mechanisms of traumatic brain injury, such as posttraumatic ischemia, excitoxicity, apoptosis cascade and cerebral edema can be recommended in practice.
In this systematic review three papers that describe the effect of induction of hypothermia for intracranial hypertension after traumatic brain injury. These journals were identified via the BJA (british journal of Anaesthesia), JAMA (Journal of the American Medical Association), and the Journal of International Medical Research databases using the search terms: hypothermia, intracranial hypertension, traumatic brain injury.
Types of research used in this study is a retrospective analysis and randomized control of data acquired during a prospective, observational neuromonitoring and imaging data collection project. Brain temperature, intracranial pressure (ICP), and cerebrovascular pressure reactivity index (PRx) were continuously monitored.
Results is twenty-four traumatic brain injury patients with refractory intracranial hypertension were cooled from 36.0  to 34.20C. Induction of hypothermia significantly reduced ICP from 23.1 to 18.3mmHg. Hypothermia did not impair cerebral vasoreactivity as average PRx changed non-significantly from 0.00 (0.21) to 20.01 (0.21). Slow rewarming up to 37.8C did not increase ICP or PRx [0.06 (0.18)]. However, in 17 (70.1%) out of 24 patients, rewarming exceeded the brain temperature threshold of 37.8C. In these patients, the average brain temperature was allowed to increase to 37.8C, ICP remained stable at 18.3 mm Hg (P¼0.74), but average PRx increased to 0.32, indicating significant derangement in cerebrovascular reactivity. After rewarming, PRx correlated independently with brain temperature (R¼0.53; P,0.05) and brain tissue O2 (R¼0.66; P,0.01).
Conclusions in this review is therapeutic hypothermia may reduce the risk mortality and poor neurological outcome with traumatic brain injury. Outcomes were influenced however by depth and hypothermia duration as well as rate of rewarming after discontinuation of hypothermia.
Key words:   hypothermia, intracranial hypertension, traumatic brain injury.

ABSTRAK
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah tekanan dari struktur-struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan TIK, akan terjadi kompensasi berupa pengurangan volume otak.
Makalah artikel review ini bertujuan untuk menjelaskan metode hipotermia sebagai salah satu tatalaksana lanjutan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif dan instalasi gawat darurat, memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari trauma kepala, seperti iskemia pasca trauma, eksitoksisitas, kaskade apoptosis dan edema serebral. Dalam makalah ini meninjau secara sistematis tiga jurnal penelitian yang menjelaskan tentang efek induksi hipotermia pada tekanan tinggi intrakranial pasca trauma/cedera kepala. Jurnal ini diidentifikasi melalui BJA (British Journal of Anaesthesia), JAMA (Journal of the American Medical Association), and the Journal of International Medical Research menggunakan istilah pencarian: ’hypothermia’, ‘intracranial hypertension’ and ‘traumatic brain injury’.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis retrospektif dan random kontrol eksperimen dari data yang diperoleh selama neuromonitoring, prospektif observasional dan pencitraan pengumpulan data. Suhu otak, tekanan intrakranial (ICP), dan serebrovaskular tekanan reaktivitas indeks (PRX) secara terus-menerus dipantau.
Hasil penelitian dari dua puluh empat pasien trauma kepala dengan hipertensi intrakranial yang didinginkan dari 36,0 menjadi 34,2 C. Induksi hipotermia secara signifikan mengurangi ICP dari 23.1 menjadi 18,3 mmHg. Hipotermia tidak mengganggu vasoreactivity serebral sebagai rata-rata PRX berubah secara bermakna dari 0.00 ke 20,01. Penghangatan kembali hingga 37.8C tidak meningkatkan ICP mmHg atau PRX [0,06 (0,18)]. Namun, (70,1%) atau 17 dari 24 pasien, yang dilakukan penghangatan kembali melebihi ambang batas otak suhu 37,8C. Suhu rata-rata otak diizinkan meningkat menjadi 37,8C, ICP tetap stabil pada 18,3 mmHg (P ¼ 0,74), tetapi rata PRX meningkat menjadi  0,32, menunjukkan kekacauan yang signifikan dalam reaktivitas serebrovaskular. Setelah penghangatan kembali, PRX berkorelasi secara independen dengan suhu otak (R ¼ 0,53; P, 0,05) dan otak jaringan O2 (R ¼ 0,66; P, 0,01). 
Kesimpulan dari makalah ini bahwa terapi hipotermia dapat mengurangi risiko kematian dan hasil neurologis buruk dengan cedera otak traumatis. Hasil dipengaruhi namun dengan kedalaman dan durasi hipotermia serta tingkat rewarming (penghangatan kembali) setelah penghentian hipotermia.
Kata kunci: hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala berat


PENDAHULUAN

Diagnosis dan tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) merupakan suatu hal yang sangat penting. Tekanan intrakranial merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan tekanan CSS, seperti pada hidrosefalus, akan terjadi kompensasi dengan terjadinya pengurangan volume otak (Ismael, 2000).
Sulit menentukan nilai normal TIK, tergantung pada usia, postur tubuh, dan keadaan klinis. Pada posisi horizontal, nilai normal TIK orang dewasa berkisar 7-15 mmHg. Pada posisi setengah duduk tekanan intrakranial mencapai nilai negatif, yaitu berkisar -10 mmHg sampai dengan 15 mmHg. Nilai normal TIK pada bayi dan anak biasanya dinilai saat punksi lumbal. Nilai TIK pada anak dan bayi lebih rendah dari pada nilai TIK pada orang dewasa yaitu berkisar 5-10 mmHg (Tasker, 2006).
Peninggian TIK juga dapat terjadi pada trauma kepala berat. Trauma kepala berat bila dijumpai tingkat kesadaran yang dinilai dengan skala koma Glasgow bernilai ≤8. Cedera kepala merupakan cedera yang utamanya disebabkan gangguan mekanik yang sifatnya langsung terhadap jaringan otak dan merupakan sekunder dari berbagai macam proses serebral dan sistemik yang terjadi di masa pasca trauma (Dicarlo and frankel, 2004.
Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi ke otak  Pengobatan dimulai bila tekanan intrakranial mencapai 20 – 25 mmHg (Dunn, 2002), diantaranya dengan melakukan hipotermia.
Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metoda proteksi otak pada beberapa keadaan klinis peningkatan tekanan intrakranial selama beberapa tahun ini. Hipotermia sedang (temperatur 32-34°C) pada hewan percobaan yang mengalami iskemik ataupun trauma kepala yang fokal maupun luas telah menunjukkan berkurangnya cedera otak dan memperbaiki perilaku.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bukti penelitian yaitu metode hipotermia sebagai salah satu tatalaksana lanjutan penanganan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif dan Instalasi Gawat Darurat.


LATAR BELAKANG

Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan tekanan pada otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.
Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. (Price, 2005).

Strategi
Artikel review ini disusun berdasarkan pencarian data berasal dari journal BJA (British Journal of Anaesthesia), JAMA (Journal of the American Medical Association), and the Journal of International Medical Research. Pencarian dibatasi pada jurnal yang diterbitkan sejak tahun 2003. Total terdapat tiga jurnal yang dijelaskan dalam makalah artikel review ini.
Tekanan Intrakranial
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Dua hal yang berperan dalam metabolisme otak agar tetap berjalan normal adalah kecukupan oksigen dan kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang optimal. Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem autoregulasi pembuluh darah serebral. Karena aliran darah otak (CBF) merupakan hasil pembagian tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem autoregulasi sangat tergantung pada CPP. 
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak tiap menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF 50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-140 mmHg. Kerusakan jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg atau 15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25 mmHg. Oleh karena CPP merupakan selisih dari mean arterial pressure (MAP) dengan TIK, maka adalah sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau menurunkan tekanan intrakranial.  TIK ini dapat dipantau dengan menggunakan alat monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan cepat dan tepat.Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.TIK yang normal: 5-15 mmHg, TIK Ringan : 15 – 25 mmHg, TIK sedang : 25-40 mmHg, TIK berat : > 40 mmHg (Japardi, 2002).
Kenaikan suhu tubuh dapat memperberat edema otak. Harus diusahakan untuk mencari penyebab dan mengendalikannya. Kemungkinan penyebabnya: penggantian cairan tidak baik, infeksi saluran kencing, tromboflebitis, luka operasi, reaksi transfusi, drugfever, gangguan hipotalamus dan batang otak. Dengan penurunan suhu tubuh menjadi 32° C, kebutuhan O2 otak menurun sebanyak 25%; ini mengurangi risiko terjadinya hipoksia. Selain itu pendinginan tubuh ini juga membantu mengeringkan sekret, mengurangi tonus otot di saluran napas,dan mengurangi tekanan intrakranial (Medscape, 2012).
Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.
Terdapat tiga jenis hipotermia menurut suhu inti tubuh yaitu pertama hipotermia ringan (35-320C) dimulai dengan gejala menggigil, berhentinya aktivitas otot yang efektif, disorientasi, tidak tertarik dengan lingkungan sekitar (apatis), penderita berbicara melantur, kulit menjadi sedikit berwarna abu-abu, dan tekanan darah menurun. Kedua, hipotermia sedang 32-260C dengan gejala detak jantung dan respirasi melemah hingga mencapai hanya 3-4 kali bernapas dalam satu menit, ketidakteraturan detak jantung dimulai pada suhu 300C dan hilangnya refleks kornea di bawah suhu 280C. Ketiga, hipotermia berat, terjadi pada suhu 260C ke bawah  dan dengan resiko tertinggi fibrilasi ventrikel di bawah 270C dan pasien akan tidak sadarkan diri pada suhu inti tubuh 180C, badan menjadi sangat kaku, pupil mengalami dilatasi, terjadi hipotensi akut, dan pernapasan sangat lambat hingga tidak kelihatan (Nugroho, 2009).

Instalasi Gawat Darurat
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Gawat darurat adalah suatu keadaan yang dimana penderita memerlukan pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita. (Japardi, 2004).
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke Instalasi Gawat Darurat selalu disertai dengan cedera kepala. Setiap tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang, 75.000 orang di antaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Apapun jenis cedera otak, baik traumatik ataupun non traumatik, dapat menimbulkan edema otak, dan akhirnya meningkatkan TIK, yang jika tidak teratasi dapat menimbulkan cedera otak tambahan. Selama jalur cairan serebrospinal baik, awalnya edema otak biasanya menyebabkan pergeseran cairan serebrospinal, yang dapat dilihat dari CT scan dan MRI kepala. Gejala awal peningkatan TIK dapat ditandai dengan adanya iritabilitas, perubahan perilaku atau sakit kepala yang dapat mendahului timbulnya penurunan kesadaran (Cohen, 2005).
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala dari tahun ke tahun bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2002)
Fenomena selama dinas di Instalasi Gawat Darurat RSHS pada tanggal 9 – 19 Juni 2012, angka kejadian cedera kepala cukup tinggi yang sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hasil pengamatan oleh mahasiswa, penanganan pasien cedera kepala yang telah dilakukan adalah head up kepala, penjahitan pada cedera kepala terbuka, pemberian oksigen, mengobservasi tanda-tanda vital, kolaborasi pemberian obat, dan belum menggunakan terapi hipotermia pada pasien.
Berdasarkan jurnal yang kami temukan pendinginan atau terapi hipotermia dapat mempengaruhi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga volume darah vaskuler di otak dapat berkurang. Saat volume darah vaskuler otak turun, tekanan pada serebri pun juga akan berkurang. Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan untuk penatalaksanaan terapi hipotermia pada peningkatan TTIK (Trisnawati & Munar, 2008).
Melihat kondisi yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk membuat makalah mengenai terapi hipotermia sebagai salah satu tatalaksana lanjutan penanganan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif dan Instalasi Gawat Darurat.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Dari jurnal pertama dengan judul “Cerebrovascular Reactivity During Hypothermia and Rewarmingjenis penelitian yang digunakan adalah analisis retrospektif. Penelitian retrospektif merupakan jenis penelitian yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan data-data yang telah ada sebelumnya. Peneliti melihat ke belakang tentang kejadian reaktivitas serebrospinal selama hipotermia dan proses penghangatan kembali. Jadi penelitian ini akan mengkaji hubungan antara faktor risiko kejadian cidera kepala (TBI) dengan efek penggunaan hipotermia dan penghangatan kembali (rewarming). Artinya, faktor risiko yang akan dipelajari diidentifikasi dahulu, kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek, yaitu salah satu indikator status kesehatan (dilihat dari status hemodinamik pasien). Data yang diperoleh oleh peneliti adalah bagian-bagian yang berlangsung secara neuromonitoring, pengobservasian dan metabolisme yang terjadi setelah trauma/cedera otak terjadi. Pengumpulan data telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Lokal. Rancangan univariat mengikuti pengukuran ANOVA dengan test Duncan post hoc digunakan untuk analisis awal dari perbedaan rata-rata PRX, CPP, ICP, PtO2, PtCO2, PH, dan suhu berbeda antara fase hipotermia. Distribusi data antara kelompok tidak berbeda nyata, memenuhi asumsi untuk ANOVA (uji Levene's). Multivariat analisis kovarians (GLM2) kemudian digunakan untuk mengevaluasi pengaruh kovariat (kontinu, parameter terdistribusi normal) PtO2, PtCO2, dan pH pada hubungan antara tingkat PRX dan suhu kelompok. Beberapa analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi korelasi antara PRX dan kovariat dalam fase pasca-rewarming. Untuk menghindari efek pengganggu dari data yang diperoleh pada hubungan regresi, peneliti juga meneliti korelasi antara PRX dan suhu otak semua pasien.
            Dari jurnal kedua dengan judul “Prolonged Therapeutic Hypothermia After Traumatic Brain Injury in Adults” jenis penelitian yang digunakan adalah random control (eksperimen). Dalam penelitian eksperimen ini dilakukan perlakuan (treatment). Metode penelitian yang digunakan adalah untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali (kontrol). Di dalam desain ini terdapat satu kelompok yang diberi perlakuan. Sebelum diberi perlakuan, kelompok tersebut diobservasi/dilakukan pretest. Selanjutnya setelah diberi perlakuan, kelompok tersebut kembali diobservasi/ dilakukan posttest.

Sampel Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan oleh A. Lavinio et al. (2007), data didapatkan dari 24 pasien yang mengalami hipertensi intrakranial di Ruangan Critical Care di Rumah Sakit Addenbrooke di Cambridge, Inggris. Semua pasien dikelola sesuai dengan Pedoman Lanjutan Dukungan Hidup Trauma dan protokol diikuti di Unit Critical Care untuk cedera kepala. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien dewasa yang mengalami cidera kepala dalam durasi 1 jam setelah masuk ruangan critical care, usia pasien dalam rentang 17 hingga usia 66 tahun, GCS 14 atau kurang sama dengan 14, jenis kelamin laki-laki dan perempuan, severity index (CT grade) di bawah 6. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat dan analisis multivariat yang pada akhirnya analisis multivariat ini akan mengidentifikasi korelasi antara PRX dan kovariat dalam fase pasca-rewarming dan suhu otak pasien sehingga didapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada penelitian Lauralyn et al. (2003), sampel yang dilibatkan dalam penelitian random control ini adalah 543 pasien pada kelompok terapi hipotermia dan 526 pasien dalam kontrol (normothermia) kelompok. Kriteria inklusi untuk sampel ini adalah pasien dengan rentang usia 16 tahun hingga 81 tahun, pasien dengan GCS 8 atau kurang sama dengan 8. Penelitian ini juga dievalusi berdasarkan 4 kriteria inklusi sehingga didapatkan hasil yang mendukung dan tepat. Empat kriteria inklusi tersebut adalah penelitian desain (RCT), populasi sasaran (dewasa dengan TBI), intervensi terapi dan perbandingan (minimal 24 jam hipotermia terapeutik pada setiap saat setelah mempertahankan normothermia vs TBI) dan hasil (semua penyebab kematian, yang merupakan ukuran hasil primer).

Analisa Data
Rata-rata tekanan arteri (AP) dimanipulasi dengan menggunakan pembebanan cairan dan obat-obatan inotropik untuk mencapai tekanan perfusi serebral (CPP) >60 mm Hg. Pasien mendapatkan selimut pendingin (Blanketrol II, Cincinnati Sub Zero, OH, USA) sampai target suhu otak <34.58C dicapai. Hipotermia sedang (33-350C) dipertahankan dengan selimut sebagai indikasi  untuk mengontrol ICP, dan selanjutnya pasien secara pasif dihangatkan kembali.
 Rata-rata AP secara invasif dipantau melalui kateter pada arteri radial; tekanan transduser memusatkan perhatian pada tingkat jantung. ICP, tekanan jaringan otak O2 (PtO2) Dan CO2 (PtCO2 ), PH, dan suhu otak yang terus-menerus dipantau dengan Codman / Neurotrend probe parenkim (Johnson & Johnson Medical, Raynham, MA, USA, 2005) melalui akses perangkat kranial (Technicam, Abbott, Inggris). Probe diposisikan pada kedalaman konstan dalam materi putih, pericontusional cedera fokal atau di non-dominan frontal lobus cedera difus. Posisi Probe telah diverifikasi dengan cara scan kepala computed tomography (CT). Semua data digitalisasi dan ditangkap dengan samping tempat tidur komputer, dengan tingkat sampling dari 30 Hz. Artefak adalah dihapus secara manual. Investigasi harian termasuk Creatinin-reaktif protein (CRP) dan angka leukosit [sel darah putih (WBC)]; CRP dan WBC rata-rata untuk setiap tahapan penelitian yang berlangsung >1 hari (A. Lavinio et al., 2007).
Vasoreactivity otak dipantau menggunakan otak tekanan reaktivitas indeks (PRX), terus dihitung samping tempat tidur komputer yang menjalankan perangkat lunak ICMþ untuk multimodal otak pemantauan ('Intensif Perawatan Monitor, Universitas Cambridge, Inggris; www.neurosurg.cam.ac.uk/icmplus). PRX indeks didefinisikan sebagai korelasi Pearson bergerak yang koefisien (4 jendela menit) antara spontan lambat gelombang (20 untuk periode 3 menit) di ICP rata-rata dan AP (5 s moving average). Secara sederhana, PRX mengimplementasikan terus menerus analisis ICP dan gelombang AP, dan mengevaluasi kemampuan arteriol intrakranial untuk mengatasi perubahan AP spontan. Sebagai contoh, jika autoregulasi dari CBF masih utuh dan penurunan AP, arteriol serebral melebar untuk mengurangi resistensi pembuluh darah dan untuk mempertahankan CBF konstan. Pelebaran arteriolar mengarah ke meningkatkan volume darah serebral dan, akibatnya, ke peningkatan ICP. Oleh karena itu, dalam kasus autoregulasi otak, AP dan ICP yang berkorelasi negatif dan PRX negatif (yakni ketika AP menurun, ICP meningkat dan sebaliknya). Sebaliknya, ketika serebrovaskular reaktivitas adalah gangguan, volume darah serebral meningkat atau menurun secara pasif dengan perubahan AP, dan PRX positif (yakni ketika AP meningkat, begitu juga ICP).
Untuk meringkas, rata-rata PRX (>0.2) positif menandakan terganggunya tekanan reaktivitas, sedangkan PRX negatif (< 0) menyiratkan reaktivitas baik. PRX sebelumnya telah menunjukkan korelasi kuat dengan autoregulasi dinamis dari CBF dinilai dengan menggunakan transkranial ultrasonografi Doppler, dan dengan autoregulasi statis dengan dinilai menggunakan positron emission tomography (PET)-CBF. Semua variabel dipantau terus menerus dimana rata-rata dalam setiap pasien untuk setiap tahap-tahap berikut:
(1) awal (B): sebelum pendinginan
(2) fase pendinginan (C): dari awal pendinginan proses sampai suhu otak 34.50C dicapai
(3) awal hipotermia (IH): 3jam pertama hipotermia
(4) hipotermia (H): seluruh periode hipotermia, otak suhu biasa<350
(5) rewarming (R): suhu otak meningkat dari 35 ke 370C
(6) pasca rewarming fase (P): suhu >37oC


Hasil Kajian
Dua puluh empat pasien diberikan terapi hipotermia sedang sebagai bagian dari manajemen. Dengan karakteristik pasien, 13 dengan severe injury, 14 dengan prosedur bedah, hari inisiasi dan durasi hipotermia diberikan berbeda-beda mulai dari 7 hingga 201 jam. Rata-rata CPP dikelola antara 70 dan 80 mmHg selama proses pendinginan dan penghangatan kembali. Suhu otak awal adalah 36,00C (0,9) dengan ICP pada 23.1 mmHg (3.6) meskipun pengobatan medis maksimal. Sebelum proses pendinginan, berarti PRX adalah 0,00 (0,21), menunjukkan normal atau hanya terjadi sedikit gangguan autoregulasi. Meskipun refraktori intrakranial hipertensi, awal reaktivitas serebrovaskular telah rusak (PRX >0.2) hanya dalam 3 dari 24 pasien. Durasi pemantauan sebelum inisiasi dari proses pendinginan adalah 8,2 (9,1) h (A. Lavinio et al., 2007).
Pasien lebih efektif didinginkan dengan target suhu otak 34.50C dalam 3,9 (3,7) h. Awal hipotermia, didefinisikan sebagai 3 jam pertama hipotermia, ditandai oleh penurunan suhu otak menjadi 34,20C (0,5) dan menyebabkan penurunan yang signifikan di ICP menjadi 19,3 mmHg (7,0) (P<0,05). Mengingat seluruh fase hipotermia [H-rata-rata durasi 40 (45) jam; IQR (14,9-52,7) h], dengan suhu adalah 34,30C (0,4) dan ICP stabil pada 18,3 mmHg (4.8). Sepanjang paparan hipotermia, autoregulasi otak yang normal tetap dalam nilai [PRX ¼ 20.01 (0,21)].
Pasien kemudian perlahan-lahan dihangatkan kembali. Suhu otak secara bertahap meningkat dari 35 sampai 370C untuk durasi rata-rata dari 23,8 (21,6) jam; IQR (7,4-39,2) jam. Tingkat rata-rata dari penghangatan kembali (dalam 0C h-1) adalah 0,2 (0,2) 0C h-1. Selama fase penghangatan kembali, suhu otak rata-rata adalah 35,90C (0,5). ICP tetap lebih rendah dibandingkan awal pada 18,6 mmHg (6,2) (P< 0,01) tanpa ada peningkatan yang signifikan. Selama fase penghangatan kembali, autoregulasi serebrovaskular tetap tidak terpengaruh, seperti yang diperkirakan perubahan tidak bermakna PRX rata-rata [0,06 (0,18); P ¼ 0,40]. Rata-rata PRX masih dalam nilai normal (PRX, 0,2) untuk suhu otak hingga 370C.
Sementara itu 7 dari 24 pasien tidak mampu mendokumentasikan peningkatan suhu otak >370C, 17 pasien masih dapat dipantau karena suhu otak melebihi ambang batas 370C. Periode ini sebelumnya didefinisikan sebagai pasca fase penghangatan kembali [pemantauan waktu rata-rata 32,4 (29,4) jam; IQR (11,0-52,2 jam)]. Selama fase pasca penghangatan kembali, suhu rata-rata otak dapat meningkat sampai 37,80C (0,3). ICP tetap stabil pada 18,3 mmHg (8,0) tetapi kelainan di reaktivitas serebrovaskuler diindikasikan dengan peningkatan yang signifikan dalam rata-rata PRX 0,32 (0,24) (P, 0,0001). Tingkat PRX yang memburuk tidak terkait dengan tingkat penghangatan kembali (P ¼ 0,43). Namun, sebagai ambang 370C sudah terlampaui, PRX memiliki hubungan linier terhadap suhu otak (R ¼ 0,53; n = 17, P, 0,05).  
Rata-rata CRP (kisaran normal, 0-6 mg litre-1) secara signifikan meningkat dari 77 (59) mg litre-1 menjadi 114 (54) mg litre-1 dari awal sampai tahap hipotermia (paired t-test; P<0,05), tapi kemudian tetap stabil saat penghangatan kembali [116 (71) mg litre21] dan pasca-penghangatan kembali 107 (82) mg litre-1. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hitungan CRP atau WBC selama hipotermia atau penghangatan kembali antara 17 pasien yang kemudian dipantau dalam fase pasca-penghangatan kembali dan 7 pasien yang tidak pernah melebihi ambang 370C.
Pada subkelompok pasien dipantau fase pasca-penghangatan kembali, jumlah kematian adalah 6 (35%) dari 17 pasien. Di subkelompok, pasien yang bertahan memiliki rata-rata PRX [0,23 (0,19)], lebih rendah secara signifikan pasca-penghangatan kembali, yang masih memiliki vasoreaktivitas lebih baik dari 6 pasien yang meninggal [PRX ¼ 0,49 (0,23); P, 0,05].
Dari hasil penelitian A. Lavinio et al. (2007), didapatkan hasil bahwa 24 pasien cedera kepala (TBI) dengan hipertensi intrakranial yang dilakukan terapi hipotermi, pasien mengalami penurunan suhu dari 360C menjadi 34,20C dalam 3,9 jam. Induksi hipotermia (durasi rata-rata 40-45 jam) secara signifikan mengurangi ICP dari 23.1 menjadi 18,3 mmHg (P 0,05). Hipotermia tidak mengganggu reaktivitas serebrovaskular. Sebagai rata-rata PRX berubah secara bermakna dari 0.00 ke 20,01. Rewarming perlahan hingga 37.00C tidak meningkatkan ICP [18,6 (6,2) mmHg] atau PRX [0,06 (0,18)]. Namun, 17 pasien (70,1%) dari 24 pasien, rewarming melebihi ambang batas suhu otak 37,80C. Pada pasien ini, suhu rata-rata otak mengalami peningkatan menjadi 37,80C  (P, 0,0001), ICP tetap stabil pada 18,3 mmHg, tetapi rata-rata PRX meningkat menjadi 0,32 (P, 0,0001), hal ini menunjukkan adanya gangguan yang signifikan dalam reaktivitas serebrovaskular. Namun setelah rewarming, PRX berkorelasi secara independen dengan suhu otak (R ¼ 0,53; P, 0,05) dan O2 pada jaringan otak (R ¼ 0,66; P, 0,01). Sehingga diharapkan terapi rewarming sangat diperbolehkan untuk diimplementasikan di ruangan gawat darurat namun tidak boleh melebihi ambang 37,00C karena hal ini berkaitan dengan peningkatan yang signifikan dalam rata-rata PRX (reaktivitas serebrovaskular).
Pada penelitian yang dilakukan oleh WG Liu et al. (2006), data diperoleh dari 66 pasien yang dibagi menjadi tiga kelompok secara acak. Kelompok pertama, suhu otak dipertahankan pada 33-35°C dengan mendinginkan kepala dan leher. Kelompok kedua, hipotermia sistemik ringan (suhu rektal 33-35°C) dengan menggunakan selimut pendingin. Kelompok ketiga merupakan kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi hipotermia. Penghangatan kembali dimulai setelah 3 hari. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa rata-rata tekanan intrakranial pada 24, 48 atau 72 jam setelah cedera secara signifikan lebih rendah pada kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok ketiga atau kelompok kontrol. Rata-rata tingkat serum dismutase superoksida pada hari ke-3 dan ke-7 setelah cedera secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pertama dan kedua daripada kelompok ketiga (kontrol). Persentase pasien dengan hasil neurologis yang membaik 2 tahun setelah cedera adalah 72,7%, 57,1%, dan 34,8% secara berturut pada kelompok pertama, kedua, dan ketiga. Komplikasi dikelola tanpa gejala sisa berat. Metode hipotermia non-invasif ini merupakan metode yang aman dan efektif.

Pembahasan
Penemuan dalam A. Lavinio et al. (2007) menggambarkan tentang reaktivitas serebrovaskular pada pasien cedera kepala yang diberikan teknik hipotermia sedang untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial. Induksi hipotermia yang cepat menyebabkan penurunan rata-rata tekanan intrakranial yang cepat pula, tanpa mengganggu reaktivitas serebrovaskular. Namun, ketika pasien dihangatkan kembali sampai suhu otak melebihi 37oC menunjukkan terjadinya gangguan autoregulasi pada aliran darah serebral. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan yang teliti terhadap suhu sistemik setelah rewarming (penghangatan kembali) dari keadaan hipotermia sedang.
Sebelumnya dijelaskan bahwa terjadi peningkatan CO2 pada jaringan otak akibat adanya peningkatan suhu otak pada pasien yang diberikan terapi hipotermia sedang. Peneliti menduga bahwa tekanan CO2 (PtCO2) terkait dengan pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) serebral mungkin menyebabkan gangguan reaktivitas serebrovaskular. Namun, model multivariat menunjukkan bahwa suhu memburuk pada reaktivitas tekanan serebral (PRx) bahkan setelah mengendalikan tekanan CO2 selama proses pendinginan dan penghangatan kembali.
Peneliti menyimpulkan bahwa PtCO2 bukan hanya faktor penyebab terjadinya gangguan pada reaktivitas serebrovaskular. Selain itu, peneliti tidak mengamati korelasi yang signifikan antara rata-rata PtCO2 dan PRx pada fase pasca-rewarming. Peningkatan suhu yang berlebihan (> 37oC) memiliki dampak yang merugikan pada reaktivitas pembuluh darah serebral sehingga harus dilakukan pengontrolan suhu dengan baik untuk mempertahankan reaktivitas serebrovaskular setelah penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang.
Studi sebelumnya membuktikan bahwa pada pasien pasca trauma/cedera kepala yang diberikan terapi hipotermia kemudian diikuti oleh penghangatan kembali dengan cepat dapat menyebabkan penurunan pada reaktivitas serebrovaskular. Penghangatan kembali yang dilakukan secara perlahan dapat mempertahankan reaktivitas serebrovaskular. Dalam studi ini, semua pasien dilakukan penghangatan kembali secara perlahan dan perburukan tingkat PRx tidak terkait dengan tingkat rewarming. Karena itu, tidak dapat ditarik kesimpulan tentang dampak dari kecepatan proses rewarming terhadap reaktivitas serebrovaskular.
Namun, penelitian baru menunjukkan bahwa ketika proses penghangatan perlahan yang melebihi 37oC setelah pemaparan suhu hipotermia sedang, PRx meningkat dengan meningkatnya temperatur pada sebagian besar pasien. Pada pasien yang terpapar suhu 34.5oC dengan tekanan tinggi intrakranial, hemodinamik serebral menjadi sangat sensitif terhadap kenaikan suhu otak yang melebihi ambang 37oC. Fenomena ini biasanya tidak terdeteksi dengan pemantauan TIK biasa karena kurangnya informasi tentang reaktivitas serebrovaskular. Oleh karena itu, TIK stabil setelah penghangatan kembali dari suhu hipotermia sedang mungkin kurang meyakinkan dan menginduksi kontrol suhu sistemik. Suhu otak yang melebihi ambang 37oC terjadi pada 70% pasien, dan ini dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak yang signifikan pada sebagian besar kasus (A. Lavinio et al., 2007).
Selama proses hipotermia dan penghangatan kembali, 88% dari 24 pasien, masing-masing memiliki CRP rata-rata di atas ambang batas 50 mg/L. Temuan ini sangat mengarah pada sepsis, dan mungkin menginterpretasikan penyebab dari peningkatan suhu otak yang berlebihan setelah proses penghangatan kembali pada sebagian besar pasien. Namun,
baik CRP dan WBC tidak berhubungan
secara signifikan dengan PRx pasca-penghangatan kembali ketika ditambahkan pada suhu otak dan PtCO2 dalam analisa regresi berganda.
Studi yang dilakukan oleh A. Lavinio et al. (2007) merupakan studi retrospektif, sehingga tidak dapat disimpulkan apakah peningkatan suhu yang berlebihan pada otak setelah penghangatan kembali merupakan faktor penyebab terjadinya gangguan reaktivitas serebrovaskular. Penemuan itu mungkin dikaitkan dengan fenomena sepsis, yang menyebabkan pireksia dan gangguan pada reaktivitas serebrovaskular. Namun, sebelum ditemukannya hasil pasti dari studi prospektif untuk menyikapi hal tersebut, disarankan untuk melakukan pengaturan dan pemantauan suhu dengan cermat dan hati-hati setelah proses penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang. Sehingga dapat melindungi reaktivitas serebrovaskular pada pasien cedera kepala yang diberikan terapi hipotermia sedang untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial.
Dalam Trisnawati & Munar (2008) dikatakan bahwa metode hipotermia ini bermanfaat untuk mencegah atau mengurangi berbagai bentuk kerusakan neuron. Menginduksi hipotermia dapat memberikan efek neuroprotektif pada pasien-pasien dengan kerusakan neuron pasca trauma kepala. Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel dan proses ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma kepala. Hipotermia dapat mengurangi terjadinya gangguan pada sawar darah otak dan memperbaiki permeabilitas vaskular sehingga mengurangi edema pada jaringan serebral.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pada pasien dengan cedera kepala, terapi hipotermia sedang dapat membantu untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial dan tidak menyebabkan terjadinya gangguan reaktivitas serebrovaskuler. Penurunan autoregulasi pada reaktivitas serebrovaskular terjadi ketika suhu dibiarkan melebihi 37oC setelah dilakukan proses penghangatan kembali pada otak. Untuk mencegah terjadinya gangguan reaktivitas serebrovaskular yang parah, suhu sistemik harus dikontrol secara cermat dan hati-hati setelah proses penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang.
Penelitian ini didukung dengan hasil studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dalam Trisnawati & Munar (2008), didapati adanya perbaikan SKG (Skala Koma Glasgow) pada pasien trauma kepala berat setelah dilakukan hipotermia (suhu tubuh 32°C - 33°C) selama 24 jam. Namun pada suatu studi systematic review didapati hipotermia sedang memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan lebih dari 48 jam dibandingkan 24 jam. Studi yang memasukkan peningkatan TIK (TIK > 20 mmHg atau > 25 mmHg; nilai normal < 15 mmHg) ke dalam kriteria inklusi, dan penurunan TIK sebagai salah satu penilaian keefektifannya, studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dan Jiang JY, dkk (2000) menunjukkan hipotermia dapat menurunkan tekanan tinggi intrakranial.
Selain itu, Lauralyn et al. (2003) mengatakan bahwa terapi hipotermia dapat mengurangi risiko mortalitas dan kerusakan neurologis pada pasien dengan trauma/cedera kepala. Manfaat klinis yang paling baik didapat ketika pasien diberikan terapi hipotermia dengan target suhu 32oC-33oC dengan durasi/ lama pemberian > 48 jam dan kemudian dihangatkan kembali dalam waktu 24 jam setelah terapi hipotermia dihentikan. Namun interpretasi hasil penelitian ini harus diperhatikan karena uji coba penelitian ini dilakukan pada jumlah yang kecil sehingga mungkin dapat menyebabkan hasil yang bias terhadap efek terapi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh WG Liu et al. (2006), dilaporkan bahwa hipotermia dapat melindungi jaringan otak pasca cedera kepala, terutama dengan membatasi tekanan intrakranial, mencegah atau mengurangi cedera otak sekunder, dan dengan demikian meningkatkan tekanan perfusi serebral. Ada beberapa metode hipotermia yang dapat digunakan. Hagioka et al. melaporkan bahwa pendinginan nasofaring dengan saline fisiologis (5%) memungkinkan penurunan suhu otak secara cepat dan selektif. Noguchi et al. menyimpulkan bahwa produksi dingin dengan mengalirkan saline ke dalam ruang subdural adalah efektif dan dapat digunakan dalam bedah saraf. Furuse et al. menunjukkan bahwa perfusi dari arteri karotis adalah cara lain untuk menghasilkan pendinginan. Induksi pendinginan yang cepat melalui intravena dengan pemberian kristaloid dingin merupakan teknik lain yang dapat digunakan. Ding et al. menjelaskan produksi dingin dengan infus saline lokal ke area otak yang iskemik, dalam studi in vivo, efektif menginduksi hipotermia dan memperbaiki cedera otak. Ini menunjukkan bahwa pendinginan kepala segera efektif dalam mencegah beberapa kerusakan otak awal walaupun tidak melibatkan kondisi hipotermia secara sistemik.


IMPLIKASI DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN

Berdasarkan hasil penelitian, terapi hipotermia sedang ini memiliki efektivitas dalam menurunkan tekanan tinggi intrakranial dan mencegah kerusakan neuron pada pasien pasca trauma kepala. Tindakan penghangatan kembali (rewarming) yang dilakukan setelah penerapan hipotermia tidak merusak reaktivitas serebrovaskular jika suhu tidak melebihi ambang 37oC. Oleh karena itu, tim kesehatan terutama perawat dapat mencoba menerapkan metode hipotermia ini pada pasien yang mengalami trauma kepala di ruangan instalasi gawat darurat. Terapi hipotermia ini dapat dilakukan dengan segera untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial dan mencegah kerusakan neuron pasca trauma kepala. Pendinginan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan menggunakan cool blanket (selimut pendingin) atau bilas lambung dengan menggunakan cairan NaCl dingin.


SIMPULAN

Peningkatan TIK sering terjadi pada pasien trauma kepala. Peningkatan TIK > 20 mmHg telah mengindikasikan dibutuhkannya penanganan segera untuk menurunkan TIK tersebut. Dari hasil temuan dalam penelitian ini dan penelitian lainnya, salah satu cara untuk menurunkan TIK tersebut adalah dengan melakukan terapi hipotermia. Hipotermia dapat berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma kepala (48-72 jam). Hipotermia sedang (34-36ºC) membantu untuk mengontrol peningkatan ICP (IntraCranial Pressure) dan tidak mengganggu reaktivitas serebrovaskuler. Namun suhu, lama pemberian, dan kecepatan dilakukannya penghangatan kembali (rewarming) harus dikontrol untuk mencegah efek dari peningkatan suhu yang berlebihan (> 370C).





SARAN PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan hasil studi pada makalah ini, yang membahas tentang terapi hipotermia untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial (TTIK) pada pasien trauma kepala, disarankan untuk meneliti lebih lanjut lama pemberian dan kecepatan dilakukannya penghangatan kembali yang ideal untuk melihat tingkat keefektivannya. Selain itu, dapat dilakukan uji coba pada jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat meminimalisir hasil yang bias terhadap efek terapi dan interpretasi hasil penelitian lebih kuat.


























DAFTAR PUSTAKA


A. Lavinio, I. Timofeev, J. Nortje, J. Outtrim, P. Smielewski, A. Gupta, P. J. Hutchinson, B. F. Matta, J. D. Pickard, D. Menon, M. Czosnyka. 2007. Cerebrovascular Reactivity During Hypothermia and Rewarming. British Journal of Anaesthesia. 99 (2): 237–44. Available at : http://bja.oxfordjournals.org/ (diakses tanggal 07 Juli 2012)


Artikel Kedokteran. Edema Serebri. Available at : http://artikelkedokteran.net/edema-serebri.html


Dicarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 308-9.


Dunn LT. Raised Intracranial Pressure. J Neurology Neurosurgical Psychiatry 2002;73 (suppl 1):i23-7.


Ismael S. Peninggian Tekanan Intrakranial. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 60-77.


Jamie Alison Edelstein; James Li, Mark A Silverberg, Wyatt Decker. Hypothermia. (Medscape), 29 Oktober 2009. Diakses pada 14 Juni 2012.


Japardi, I. 2002. Tekanan Tinggi Intrakranial. Available at http://repository.usu.ac.id/ (diakses tanggal 08 Juli 2012)


Japardi, S. 2004. Cedera Kepala. Medan : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.


Lauralyn A, Dean A, Paul C, David M, James S. 2003. Prolonged Therapeutic Hypothermia After Traumatic Brain Injury in Adults. Journal of the American Medical Association. Available at : http://jama.jamanetwork.com/ (diakses tanggal 07 Juli 2012)


Nugroho, S. 2009. Gambaran Pajanan Suhu Dingin terhadap Kejadian Hipotermia. Available at http://lontar.ui.ac.id/ (diakses tanggal 08 Juli 2012)


Tasker RC, Czosnyka M. Intracranial Hypertension and Brain Monitoring. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 828-45.
Trisnawati, Y. & Munar. 2008. Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat pada Anak dengan Metode Hipotermia. USU Institutional Repository. Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18621/1/mkn-des2008-41%20(12).pdf (diakses tanggal 29 Juni 2012)


UK. Government Advice on Definition of an Emergency. Retrieved 2007. Available at : www.wikipedia.org


WG Liu, WS Qiu, Y Zhang, WM Wang, F Lu, XF Yang. 2006. Effects of Selective Brain Cooling in Patients with Severe Traumatic Brain Injury: a Preliminary Study. The Journal of International Medical Research 34: 58 – 64. Available at : http://www.ingentaconnect.com/content/field/jimr/2006/00000034/00000001/art00007 (diakses tanggal 10 Juli 2012)


Widiyanto, H. 2007. Kecelakaan Lalu Lintas Pembunuh di Indonesia. Available at : www.dephub.go.id (diakses tanggal 10 Juli 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar