EFFECT OF INDUCTION OF HYPOTHERMIA FOR INTRACRANIAL HYPERTENSION AFTER TRAUMATIC BRAIN INJURY
REVIEW
ABSTRACT
Intracranial pressure can be
measured as a total amount of pressure of brain, blood and its vessels and also
the cerebrospinal fluid intracranially. To maintain a normal constant pressure,
due to the increase of intracranial pressure, a reduction of brain volume will
happen. Increased of intracranial pressure in severe traumatic brain injury
associated with recovery, influenced by the intracranial pressure’s value and
duration of the increased of intracranial pressure.
This paper aims to review the hypothermia method, as a second tier therapy of intracranial
hypertension in Emergency department and Intensive Care Unit, could give
neuroprotective effect to the basic mechanisms of traumatic brain injury, such
as posttraumatic ischemia, excitoxicity, apoptosis cascade and cerebral edema can be recommended in practice.
In this systematic review three papers that describe the effect of
induction of hypothermia for intracranial hypertension after traumatic
brain injury. These journals were identified
via the BJA (british journal
of Anaesthesia), JAMA (Journal of the American Medical Association), and the Journal of International Medical Research databases
using the search terms:
hypothermia, intracranial hypertension, traumatic brain injury.
Types of research used in this study is a retrospective analysis and
randomized control of data acquired during a prospective, observational neuromonitoring
and imaging data collection project. Brain temperature, intracranial pressure (ICP),
and cerebrovascular pressure reactivity index (PRx) were continuously
monitored.
Results is twenty-four
traumatic brain injury patients with refractory intracranial hypertension were
cooled from 36.0 to 34.20C. Induction
of hypothermia significantly reduced ICP from 23.1 to 18.3mmHg. Hypothermia did
not impair cerebral vasoreactivity as average PRx changed non-significantly
from 0.00 (0.21) to 20.01 (0.21). Slow rewarming up to 37.8C did not increase
ICP or PRx [0.06 (0.18)]. However, in 17 (70.1%) out of 24 patients, rewarming
exceeded the brain temperature threshold of 37.8C. In these patients, the
average brain temperature was allowed to increase to 37.8C, ICP remained stable
at 18.3 mm Hg (P¼0.74), but average PRx increased to 0.32, indicating
significant derangement in cerebrovascular reactivity. After rewarming, PRx
correlated independently with brain temperature (R¼0.53; P,0.05) and brain tissue
O2 (R¼0.66; P,0.01).
Conclusions in this review is therapeutic
hypothermia may reduce the risk mortality and poor neurological outcome with
traumatic brain injury. Outcomes were influenced however by depth and
hypothermia duration as well as rate of rewarming after discontinuation of
hypothermia.
Key words: hypothermia, intracranial hypertension,
traumatic brain injury.
ABSTRAK
Tekanan
intrakranial (TIK) merupakan jumlah tekanan dari struktur-struktur di dalam rongga
tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan
serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya
peningkatan TIK, akan terjadi kompensasi berupa pengurangan volume otak.
Makalah artikel
review ini bertujuan untuk menjelaskan metode hipotermia sebagai salah satu
tatalaksana lanjutan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif dan instalasi
gawat darurat, memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari trauma
kepala, seperti iskemia pasca trauma, eksitoksisitas, kaskade apoptosis dan
edema serebral. Dalam makalah ini meninjau secara sistematis tiga jurnal penelitian yang menjelaskan tentang efek induksi
hipotermia pada tekanan tinggi intrakranial pasca trauma/cedera kepala. Jurnal
ini diidentifikasi melalui BJA (British Journal of Anaesthesia),
JAMA (Journal of the American Medical
Association), and the Journal
of International Medical Research menggunakan istilah
pencarian: ’hypothermia’, ‘intracranial hypertension’ and
‘traumatic brain injury’.
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis retrospektif dan
random kontrol eksperimen dari data yang diperoleh selama neuromonitoring,
prospektif observasional dan pencitraan pengumpulan data. Suhu otak, tekanan intrakranial
(ICP), dan serebrovaskular tekanan reaktivitas indeks (PRX) secara
terus-menerus dipantau.
Hasil penelitian dari dua puluh empat pasien
trauma kepala dengan hipertensi intrakranial yang didinginkan dari 36,0
menjadi 34,2 C. Induksi hipotermia secara signifikan mengurangi ICP dari
23.1 menjadi 18,3 mmHg. Hipotermia tidak mengganggu vasoreactivity serebral sebagai rata-rata PRX berubah secara
bermakna dari 0.00 ke 20,01. Penghangatan kembali hingga 37.8C tidak
meningkatkan ICP mmHg atau PRX [0,06 (0,18)]. Namun, (70,1%) atau 17 dari
24 pasien, yang dilakukan penghangatan kembali melebihi ambang batas otak suhu
37,8C. Suhu rata-rata otak diizinkan meningkat menjadi 37,8C, ICP tetap
stabil pada 18,3 mmHg (P ¼ 0,74), tetapi rata PRX meningkat menjadi 0,32,
menunjukkan kekacauan yang signifikan dalam reaktivitas serebrovaskular. Setelah penghangatan
kembali, PRX berkorelasi secara independen dengan suhu otak (R ¼ 0,53; P, 0,05)
dan otak jaringan O2 (R ¼ 0,66; P, 0,01).
Kesimpulan
dari makalah ini bahwa terapi hipotermia dapat mengurangi risiko kematian dan
hasil neurologis buruk dengan cedera otak traumatis. Hasil dipengaruhi namun
dengan kedalaman dan durasi hipotermia serta tingkat rewarming (penghangatan kembali) setelah penghentian hipotermia.
Kata kunci: hipotermia,
peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala berat
PENDAHULUAN
Diagnosis dan tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) merupakan suatu hal yang sangat penting. Tekanan intrakranial merupakan
jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri
dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk
mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan tekanan CSS,
seperti pada hidrosefalus, akan terjadi kompensasi dengan terjadinya
pengurangan volume otak (Ismael, 2000).
Sulit menentukan nilai normal TIK, tergantung pada usia,
postur tubuh, dan keadaan klinis. Pada posisi horizontal, nilai normal TIK
orang dewasa berkisar 7-15 mmHg. Pada
posisi setengah duduk tekanan
intrakranial mencapai nilai negatif, yaitu berkisar -10 mmHg sampai dengan 15 mmHg. Nilai normal TIK pada bayi dan anak biasanya dinilai saat
punksi lumbal. Nilai TIK pada anak dan bayi lebih
rendah dari pada nilai TIK
pada orang dewasa yaitu berkisar 5-10 mmHg (Tasker, 2006).
Peninggian TIK juga dapat terjadi pada trauma kepala berat.
Trauma kepala berat bila dijumpai tingkat kesadaran yang dinilai dengan skala
koma Glasgow bernilai ≤8. Cedera kepala merupakan cedera yang utamanya
disebabkan gangguan mekanik yang sifatnya langsung terhadap jaringan otak dan
merupakan sekunder dari berbagai macam proses serebral dan sistemik yang
terjadi di masa pasca trauma (Dicarlo and frankel, 2004.
Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan
intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan
mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan tekanan
perfusi ke otak Pengobatan dimulai bila
tekanan intrakranial mencapai 20 – 25 mmHg (Dunn, 2002), diantaranya dengan melakukan
hipotermia.
Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metoda proteksi
otak pada beberapa keadaan klinis peningkatan tekanan intrakranial selama
beberapa tahun ini. Hipotermia sedang (temperatur 32-34°C) pada hewan percobaan
yang mengalami iskemik ataupun trauma kepala yang fokal maupun luas telah
menunjukkan berkurangnya cedera otak dan memperbaiki perilaku.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bukti penelitian yaitu metode
hipotermia sebagai salah satu tatalaksana lanjutan penanganan peningkatan TIK
di ruang perawatan intensif dan Instalasi Gawat Darurat.
LATAR BELAKANG
Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup)
yang terjadi karena fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar
/laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi,
akibatnya akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak
ada pada area cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan tekanan
pada otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada
aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi
menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat
akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.
Maka aliran
darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga
terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat
menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema
otak. Edema akan terus bertambah menekan / mendesak terhadap jaringan saraf,
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. (Price, 2005).
Strategi
Artikel review
ini disusun berdasarkan pencarian data berasal dari journal BJA (British Journal of Anaesthesia),
JAMA (Journal of the American Medical
Association), and the Journal
of International Medical Research. Pencarian dibatasi pada jurnal yang diterbitkan sejak tahun 2003. Total terdapat tiga jurnal yang
dijelaskan dalam makalah artikel review
ini.
Tekanan Intrakranial
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi
intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan
tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60
mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Dua hal yang berperan
dalam metabolisme otak agar tetap berjalan normal adalah kecukupan oksigen dan
kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan
cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang
optimal. Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem
autoregulasi pembuluh darah serebral. Karena aliran darah otak (CBF) merupakan
hasil pembagian tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah
serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem autoregulasi sangat tergantung pada
CPP.
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan
otak tiap menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF
50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP
40-140 mmHg. Kerusakan jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang
dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti
infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg atau
15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25
mmHg. Oleh karena CPP merupakan selisih dari mean arterial pressure (MAP)
dengan TIK, maka adalah sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan
mengendalikan atau menurunkan tekanan intrakranial. TIK ini dapat
dipantau dengan menggunakan alat monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU
sehingga dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan cepat dan tepat.Pemantauan
TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai
terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.TIK yang normal:
5-15 mmHg, TIK Ringan : 15 – 25 mmHg, TIK sedang : 25-40 mmHg, TIK berat : > 40 mmHg (Japardi, 2002).
Kenaikan suhu
tubuh dapat memperberat edema otak. Harus diusahakan untuk mencari penyebab dan
mengendalikannya. Kemungkinan penyebabnya: penggantian cairan tidak baik, infeksi
saluran kencing, tromboflebitis, luka operasi, reaksi transfusi, drugfever, gangguan
hipotalamus dan batang otak. Dengan penurunan suhu tubuh menjadi 32° C, kebutuhan
O2 otak menurun sebanyak 25%; ini mengurangi risiko terjadinya hipoksia.
Selain itu pendinginan tubuh ini juga membantu mengeringkan sekret, mengurangi
tonus otot di saluran napas,dan mengurangi tekanan intrakranial (Medscape, 2012).
Hipotermia
Hipotermia
adalah keadaan dimana suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C. Tubuh
manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu
antara 36,5-37,5 °C. Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur
suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.
Terdapat tiga
jenis hipotermia menurut suhu inti tubuh yaitu pertama hipotermia ringan (35-320C)
dimulai dengan gejala menggigil, berhentinya aktivitas otot yang efektif,
disorientasi, tidak tertarik dengan lingkungan sekitar (apatis), penderita
berbicara melantur, kulit
menjadi sedikit berwarna abu-abu, dan tekanan
darah menurun. Kedua, hipotermia sedang 32-260C dengan gejala
detak jantung dan respirasi melemah hingga mencapai hanya 3-4 kali bernapas
dalam satu menit,
ketidakteraturan detak jantung dimulai pada suhu 300C dan hilangnya refleks
kornea di bawah suhu 280C. Ketiga, hipotermia berat, terjadi pada
suhu 260C ke bawah dan dengan
resiko tertinggi fibrilasi ventrikel di bawah 270C dan pasien akan
tidak sadarkan diri pada suhu inti tubuh 180C, badan menjadi sangat
kaku, pupil
mengalami dilatasi, terjadi hipotensi akut, dan pernapasan
sangat lambat hingga tidak kelihatan (Nugroho, 2009).
Instalasi Gawat Darurat
Instalasi Gawat
Darurat (IGD) adalah
salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang
menderita sakit
dan cedera, yang
dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Gawat darurat adalah suatu keadaan yang dimana
penderita memerlukan pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan
berakibat fatal bagi penderita. (Japardi, 2004).
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke Instalasi
Gawat Darurat selalu disertai dengan
cedera kepala. Setiap tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta
orang, 75.000 orang di antaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Apapun jenis cedera otak, baik traumatik ataupun non
traumatik, dapat menimbulkan edema otak, dan akhirnya meningkatkan TIK, yang
jika tidak teratasi dapat menimbulkan cedera otak tambahan. Selama jalur cairan
serebrospinal baik, awalnya edema otak biasanya menyebabkan pergeseran cairan serebrospinal,
yang dapat dilihat dari CT scan dan MRI kepala. Gejala awal peningkatan TIK dapat
ditandai dengan adanya iritabilitas, perubahan perilaku atau sakit kepala yang dapat
mendahului timbulnya penurunan kesadaran (Cohen, 2005).
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala dari tahun ke
tahun bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita
cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai
dengan harapan kita (Smeltzer, 2002)
Fenomena
selama dinas di Instalasi Gawat Darurat RSHS pada tanggal 9 – 19 Juni 2012,
angka kejadian cedera kepala cukup tinggi yang sebagian besar disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan hasil pengamatan oleh mahasiswa, penanganan
pasien cedera kepala yang telah dilakukan adalah head up kepala, penjahitan pada cedera kepala terbuka, pemberian
oksigen, mengobservasi tanda-tanda vital, kolaborasi pemberian obat, dan belum
menggunakan terapi hipotermia pada pasien.
Berdasarkan
jurnal yang kami temukan pendinginan atau terapi hipotermia dapat mempengaruhi
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga volume darah vaskuler di otak dapat
berkurang. Saat volume darah vaskuler otak turun, tekanan pada serebri pun juga
akan berkurang. Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan untuk penatalaksanaan
terapi hipotermia pada peningkatan TTIK (Trisnawati & Munar,
2008).
Melihat kondisi yang telah dipaparkan diatas, penulis
tertarik untuk membuat makalah mengenai terapi hipotermia sebagai salah satu tatalaksana
lanjutan penanganan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif dan Instalasi
Gawat Darurat.
METODE PENELITIAN
Rancangan
Penelitian
Dari jurnal pertama dengan
judul “Cerebrovascular Reactivity During Hypothermia and Rewarming” jenis penelitian yang digunakan adalah analisis
retrospektif. Penelitian retrospektif merupakan jenis penelitian yang
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan data-data yang
telah ada sebelumnya. Peneliti melihat ke belakang tentang kejadian reaktivitas
serebrospinal selama hipotermia dan proses penghangatan kembali. Jadi
penelitian ini akan mengkaji hubungan antara faktor risiko kejadian cidera
kepala (TBI) dengan efek penggunaan hipotermia dan penghangatan kembali (rewarming). Artinya, faktor risiko yang akan dipelajari diidentifikasi dahulu,
kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek, yaitu salah satu
indikator status kesehatan (dilihat dari status hemodinamik pasien). Data
yang diperoleh oleh peneliti adalah bagian-bagian yang berlangsung secara
neuromonitoring, pengobservasian dan metabolisme yang terjadi setelah trauma/cedera otak terjadi. Pengumpulan data telah disetujui oleh
Komite Etik Penelitian Lokal. Rancangan univariat mengikuti pengukuran ANOVA dengan test Duncan post hoc digunakan untuk
analisis awal dari perbedaan rata-rata PRX, CPP, ICP, PtO2, PtCO2, PH, dan suhu berbeda
antara fase hipotermia.
Distribusi data antara kelompok tidak berbeda nyata, memenuhi asumsi untuk ANOVA (uji
Levene's). Multivariat analisis kovarians (GLM2) kemudian digunakan untuk mengevaluasi pengaruh kovariat (kontinu,
parameter terdistribusi normal) PtO2, PtCO2, dan pH pada hubungan antara tingkat PRX dan suhu kelompok.
Beberapa analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi korelasi antara
PRX dan kovariat dalam fase pasca-rewarming. Untuk menghindari efek pengganggu dari data yang
diperoleh pada hubungan regresi, peneliti juga meneliti korelasi antara PRX dan suhu otak semua pasien.
Dari
jurnal kedua dengan judul “Prolonged
Therapeutic Hypothermia After Traumatic Brain Injury in Adults” jenis
penelitian yang digunakan adalah random control (eksperimen). Dalam penelitian
eksperimen ini dilakukan perlakuan (treatment).
Metode penelitian yang digunakan adalah untuk mencari pengaruh perlakuan
tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali (kontrol). Di dalam
desain ini terdapat satu kelompok yang diberi perlakuan. Sebelum diberi
perlakuan, kelompok tersebut diobservasi/dilakukan pretest. Selanjutnya setelah diberi perlakuan, kelompok tersebut
kembali diobservasi/ dilakukan posttest.
Sampel Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan oleh A. Lavinio et al. (2007), data didapatkan dari 24 pasien yang mengalami
hipertensi intrakranial di Ruangan Critical Care di Rumah Sakit Addenbrooke di
Cambridge, Inggris. Semua pasien dikelola sesuai dengan Pedoman Lanjutan
Dukungan Hidup Trauma dan protokol diikuti di Unit Critical Care untuk cedera kepala. Kriteria inklusi untuk penelitian ini
adalah pasien dewasa yang mengalami cidera kepala dalam durasi 1 jam setelah
masuk ruangan critical care, usia pasien dalam rentang 17 hingga usia 66 tahun,
GCS 14 atau kurang sama dengan 14, jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
severity index (CT grade) di bawah 6. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari analisis univariat dan analisis multivariat yang pada akhirnya
analisis multivariat ini akan mengidentifikasi korelasi antara PRX dan kovariat
dalam fase pasca-rewarming dan suhu otak pasien sehingga didapatkan hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada penelitian Lauralyn et al. (2003), sampel yang dilibatkan dalam penelitian random control ini adalah 543 pasien pada
kelompok terapi hipotermia dan 526 pasien dalam kontrol
(normothermia) kelompok. Kriteria inklusi untuk sampel ini adalah pasien dengan rentang usia 16 tahun hingga 81
tahun, pasien dengan GCS 8 atau kurang sama dengan 8. Penelitian ini juga dievalusi berdasarkan 4 kriteria inklusi sehingga
didapatkan hasil yang mendukung dan tepat. Empat kriteria inklusi tersebut adalah
penelitian desain (RCT), populasi sasaran (dewasa dengan TBI), intervensi
terapi dan perbandingan (minimal 24 jam hipotermia terapeutik pada
setiap saat setelah mempertahankan normothermia vs TBI) dan hasil (semua
penyebab kematian, yang merupakan ukuran hasil primer).
Analisa Data
Rata-rata tekanan arteri (AP) dimanipulasi
dengan menggunakan pembebanan cairan dan obat-obatan inotropik untuk mencapai tekanan
perfusi serebral (CPP) >60 mm Hg. Pasien mendapatkan selimut pendingin (Blanketrol II, Cincinnati
Sub Zero, OH, USA) sampai target suhu otak <34.58C dicapai. Hipotermia sedang
(33-350C)
dipertahankan dengan selimut sebagai indikasi untuk mengontrol ICP, dan selanjutnya pasien secara pasif
dihangatkan kembali.
Rata-rata AP secara invasif dipantau
melalui kateter pada
arteri radial; tekanan transduser memusatkan perhatian pada tingkat jantung.
ICP, tekanan jaringan otak O2 (PtO2) Dan CO2 (PtCO2 ), PH, dan suhu otak yang terus-menerus dipantau dengan
Codman / Neurotrend probe parenkim (Johnson & Johnson Medical, Raynham, MA, USA, 2005) melalui akses perangkat
kranial (Technicam, Abbott, Inggris). Probe diposisikan pada
kedalaman konstan dalam materi putih, pericontusional cedera fokal atau di non-dominan frontal lobus
cedera difus. Posisi Probe telah diverifikasi dengan cara scan
kepala computed tomography (CT). Semua data digitalisasi dan ditangkap dengan
samping tempat tidur komputer, dengan tingkat sampling dari 30 Hz.
Artefak adalah dihapus secara manual. Investigasi harian termasuk Creatinin-reaktif protein (CRP) dan angka leukosit [sel
darah putih (WBC)]; CRP dan WBC rata-rata untuk setiap tahapan penelitian yang berlangsung >1 hari (A.
Lavinio et
al., 2007).
Vasoreactivity otak dipantau menggunakan
otak tekanan
reaktivitas indeks (PRX), terus dihitung samping tempat tidur komputer yang menjalankan
perangkat lunak ICMþ untuk multimodal otak pemantauan ('Intensif Perawatan
Monitor, Universitas Cambridge, Inggris; www.neurosurg.cam.ac.uk/icmplus).
PRX indeks didefinisikan sebagai korelasi Pearson bergerak yang koefisien (4 jendela menit) antara spontan
lambat gelombang
(20 untuk periode 3 menit) di ICP rata-rata dan AP (5 s moving average). Secara sederhana, PRX
mengimplementasikan terus
menerus analisis ICP dan gelombang AP, dan mengevaluasi kemampuan arteriol intrakranial untuk
mengatasi perubahan AP spontan. Sebagai contoh, jika autoregulasi dari CBF masih utuh
dan penurunan AP, arteriol serebral melebar untuk mengurangi resistensi pembuluh darah dan
untuk mempertahankan CBF konstan. Pelebaran arteriolar mengarah ke meningkatkan volume
darah serebral dan, akibatnya, ke peningkatan ICP. Oleh karena itu, dalam kasus autoregulasi otak, AP
dan ICP yang berkorelasi negatif dan PRX negatif (yakni ketika AP menurun, ICP meningkat dan
sebaliknya). Sebaliknya, ketika serebrovaskular reaktivitas adalah gangguan, volume darah
serebral meningkat atau menurun secara pasif dengan perubahan AP, dan PRX positif (yakni ketika
AP meningkat, begitu juga ICP).
Untuk meringkas, rata-rata PRX (>0.2) positif menandakan terganggunya tekanan reaktivitas, sedangkan PRX negatif (< 0) menyiratkan reaktivitas baik. PRX
sebelumnya telah menunjukkan korelasi kuat dengan autoregulasi dinamis dari CBF dinilai dengan
menggunakan transkranial
ultrasonografi Doppler, dan dengan autoregulasi statis dengan dinilai menggunakan positron emission tomography
(PET)-CBF. Semua variabel dipantau terus menerus dimana rata-rata dalam
setiap pasien untuk setiap
tahap-tahap berikut:
(1) awal (B): sebelum pendinginan
(2) fase pendinginan (C): dari awal pendinginan proses sampai suhu
otak 34.50C
dicapai
(3) awal hipotermia (IH): 3jam pertama hipotermia
(4) hipotermia (H): seluruh periode hipotermia, otak suhu biasa<350
(5) rewarming (R): suhu otak meningkat dari 35 ke 370C
(6) pasca rewarming fase (P): suhu >37oC
Hasil Kajian
Dua puluh
empat pasien diberikan terapi hipotermia sedang sebagai bagian dari
manajemen. Dengan karakteristik
pasien, 13 dengan severe injury, 14 dengan prosedur bedah, hari inisiasi dan durasi hipotermia
diberikan berbeda-beda mulai
dari 7 hingga 201 jam. Rata-rata CPP dikelola antara 70 dan 80 mmHg selama proses
pendinginan dan
penghangatan kembali. Suhu otak awal adalah 36,00C (0,9) dengan
ICP pada 23.1 mmHg (3.6) meskipun pengobatan medis maksimal. Sebelum proses pendinginan, berarti PRX
adalah 0,00 (0,21), menunjukkan normal atau hanya terjadi sedikit gangguan autoregulasi. Meskipun refraktori
intrakranial hipertensi, awal reaktivitas serebrovaskular telah rusak (PRX >0.2) hanya dalam
3 dari 24 pasien.
Durasi pemantauan sebelum inisiasi dari proses pendinginan adalah 8,2 (9,1) h (A. Lavinio et al., 2007).
Pasien lebih
efektif didinginkan dengan target suhu otak 34.50C dalam 3,9 (3,7)
h. Awal hipotermia, didefinisikan sebagai 3 jam pertama hipotermia, ditandai oleh
penurunan suhu otak menjadi 34,20C (0,5) dan menyebabkan penurunan
yang signifikan di ICP menjadi 19,3 mmHg (7,0) (P<0,05). Mengingat seluruh fase
hipotermia [H-rata-rata durasi
40 (45) jam; IQR (14,9-52,7) h], dengan suhu adalah 34,30C (0,4) dan ICP stabil pada 18,3 mmHg (4.8).
Sepanjang paparan hipotermia, autoregulasi otak yang normal tetap dalam nilai [PRX ¼
20.01 (0,21)].
Pasien
kemudian perlahan-lahan dihangatkan
kembali. Suhu otak secara bertahap
meningkat dari 35 sampai 370C untuk durasi rata-rata dari 23,8 (21,6) jam; IQR (7,4-39,2) jam. Tingkat
rata-rata dari penghangatan kembali (dalam 0C h-1) adalah
0,2 (0,2) 0C h-1. Selama fase penghangatan kembali, suhu
otak rata-rata adalah 35,90C (0,5). ICP tetap lebih rendah dibandingkan awal pada 18,6 mmHg (6,2)
(P< 0,01)
tanpa ada peningkatan yang
signifikan. Selama
fase penghangatan kembali,
autoregulasi serebrovaskular tetap tidak terpengaruh, seperti yang diperkirakan perubahan tidak
bermakna PRX rata-rata [0,06
(0,18); P ¼
0,40]. Rata-rata PRX
masih dalam nilai normal (PRX, 0,2) untuk suhu otak hingga 370C.
Sementara
itu 7 dari 24 pasien
tidak mampu mendokumentasikan peningkatan suhu otak >370C, 17 pasien masih dapat dipantau karena suhu otak melebihi ambang batas 370C. Periode ini
sebelumnya didefinisikan sebagai pasca fase penghangatan kembali [pemantauan waktu rata-rata 32,4 (29,4) jam; IQR
(11,0-52,2 jam)]. Selama fase pasca
penghangatan
kembali, suhu rata-rata otak dapat
meningkat sampai 37,80C (0,3). ICP
tetap stabil pada 18,3 mmHg (8,0) tetapi kelainan di
reaktivitas serebrovaskuler diindikasikan dengan peningkatan yang signifikan dalam rata-rata PRX 0,32 (0,24)
(P, 0,0001). Tingkat PRX yang
memburuk tidak terkait dengan tingkat penghangatan kembali (P ¼
0,43). Namun,
sebagai ambang 370C sudah
terlampaui, PRX memiliki hubungan linier
terhadap suhu otak (R ¼ 0,53; n = 17, P, 0,05).
Rata-rata
CRP (kisaran normal, 0-6 mg litre-1) secara signifikan meningkat dari 77 (59) mg litre-1 menjadi 114 (54)
mg litre-1 dari awal sampai tahap
hipotermia (paired t-test; P<0,05), tapi kemudian tetap stabil saat penghangatan kembali [116 (71) mg
litre21] dan pasca-penghangatan
kembali 107 (82) mg
litre-1. Tidak
ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hitungan CRP atau WBC
selama hipotermia atau penghangatan kembali antara 17 pasien yang kemudian
dipantau dalam fase pasca-penghangatan kembali dan 7 pasien yang tidak pernah melebihi
ambang 370C.
Pada
subkelompok pasien dipantau
fase pasca-penghangatan
kembali, jumlah kematian
adalah 6 (35%) dari 17 pasien. Di subkelompok, pasien yang bertahan memiliki
rata-rata PRX [0,23 (0,19)], lebih rendah secara signifikan pasca-penghangatan
kembali, yang masih memiliki vasoreaktivitas lebih baik dari 6 pasien yang
meninggal [PRX ¼ 0,49 (0,23); P, 0,05].
Dari hasil penelitian A. Lavinio et al. (2007), didapatkan hasil bahwa 24
pasien cedera kepala (TBI) dengan hipertensi
intrakranial yang dilakukan terapi hipotermi, pasien mengalami penurunan suhu
dari 360C menjadi 34,20C dalam 3,9 jam. Induksi
hipotermia (durasi rata-rata 40-45 jam) secara signifikan mengurangi ICP dari 23.1
menjadi 18,3 mmHg (P 0,05). Hipotermia
tidak mengganggu reaktivitas serebrovaskular. Sebagai
rata-rata PRX berubah secara bermakna dari 0.00 ke 20,01. Rewarming perlahan hingga 37.00C
tidak meningkatkan ICP [18,6 (6,2) mmHg] atau PRX [0,06 (0,18)]. Namun, 17
pasien (70,1%) dari 24 pasien, rewarming
melebihi ambang batas suhu otak 37,80C. Pada pasien
ini, suhu rata-rata otak mengalami peningkatan menjadi 37,80C
(P, 0,0001), ICP tetap stabil pada 18,3 mmHg, tetapi rata-rata PRX meningkat
menjadi 0,32 (P, 0,0001), hal ini menunjukkan adanya gangguan yang
signifikan dalam reaktivitas serebrovaskular. Namun
setelah rewarming, PRX berkorelasi secara independen dengan suhu otak (R ¼
0,53; P, 0,05) dan O2 pada jaringan otak (R ¼ 0,66; P, 0,01). Sehingga
diharapkan terapi rewarming sangat
diperbolehkan untuk diimplementasikan di ruangan gawat darurat namun tidak
boleh melebihi ambang 37,00C karena hal ini berkaitan dengan
peningkatan yang signifikan dalam rata-rata PRX (reaktivitas serebrovaskular).
Pada
penelitian yang dilakukan oleh WG Liu et al. (2006), data diperoleh dari 66 pasien yang dibagi menjadi tiga kelompok
secara acak. Kelompok
pertama, suhu otak dipertahankan pada 33-35°C dengan mendinginkan kepala dan leher. Kelompok kedua, hipotermia sistemik ringan (suhu
rektal 33-35°C) dengan menggunakan selimut pendingin. Kelompok ketiga
merupakan kelompok
kontrol yang tidak diberikan terapi hipotermia. Penghangatan kembali dimulai setelah 3 hari. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa rata-rata tekanan intrakranial pada 24, 48 atau 72 jam setelah cedera secara signifikan lebih rendah pada kelompok pertama
dibandingkan dengan
kelompok ketiga atau kelompok kontrol. Rata-rata
tingkat serum dismutase superoksida pada hari ke-3 dan ke-7 setelah cedera secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok pertama dan kedua daripada kelompok ketiga (kontrol). Persentase pasien dengan hasil neurologis yang membaik 2 tahun setelah cedera adalah 72,7%, 57,1%, dan 34,8% secara berturut pada kelompok pertama,
kedua, dan ketiga. Komplikasi dikelola tanpa gejala sisa berat. Metode hipotermia non-invasif ini merupakan metode yang aman dan efektif.
Pembahasan
Penemuan dalam A.
Lavinio et al.
(2007) menggambarkan tentang reaktivitas serebrovaskular
pada pasien cedera kepala yang diberikan teknik hipotermia sedang untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial.
Induksi hipotermia yang cepat menyebabkan penurunan rata-rata tekanan intrakranial yang cepat
pula, tanpa mengganggu reaktivitas serebrovaskular. Namun, ketika pasien dihangatkan kembali
sampai suhu otak melebihi 37oC menunjukkan terjadinya gangguan
autoregulasi pada aliran darah serebral. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan yang teliti terhadap suhu sistemik setelah
rewarming (penghangatan kembali)
dari keadaan hipotermia sedang.
Sebelumnya dijelaskan bahwa terjadi peningkatan CO2 pada jaringan otak akibat
adanya peningkatan
suhu otak
pada pasien yang diberikan terapi hipotermia sedang. Peneliti menduga bahwa tekanan
CO2 (PtCO2) terkait dengan pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) serebral mungkin menyebabkan
gangguan reaktivitas serebrovaskular. Namun, model multivariat menunjukkan bahwa suhu memburuk pada reaktivitas tekanan
serebral (PRx) bahkan setelah mengendalikan
tekanan CO2 selama proses pendinginan dan penghangatan
kembali.
Peneliti menyimpulkan
bahwa PtCO2
bukan hanya faktor
penyebab terjadinya gangguan pada reaktivitas serebrovaskular. Selain itu, peneliti tidak mengamati korelasi yang signifikan antara rata-rata PtCO2 dan PRx pada fase pasca-rewarming. Peningkatan suhu yang
berlebihan (> 37oC) memiliki dampak yang merugikan pada reaktivitas pembuluh darah serebral sehingga harus
dilakukan pengontrolan suhu dengan baik
untuk mempertahankan reaktivitas serebrovaskular
setelah penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang.
Studi sebelumnya membuktikan bahwa pada pasien pasca trauma/cedera
kepala yang diberikan terapi hipotermia kemudian diikuti oleh penghangatan kembali dengan cepat dapat menyebabkan
penurunan pada reaktivitas serebrovaskular.
Penghangatan kembali yang
dilakukan secara perlahan dapat
mempertahankan reaktivitas serebrovaskular. Dalam studi ini, semua
pasien dilakukan penghangatan kembali secara perlahan dan perburukan tingkat PRx tidak terkait dengan tingkat rewarming. Karena itu, tidak dapat ditarik kesimpulan tentang dampak
dari kecepatan proses rewarming terhadap reaktivitas serebrovaskular.
Namun, penelitian baru menunjukkan bahwa ketika proses
penghangatan perlahan yang melebihi 37oC setelah pemaparan suhu
hipotermia sedang, PRx meningkat dengan meningkatnya temperatur pada sebagian besar pasien. Pada
pasien yang terpapar suhu 34.5oC dengan tekanan tinggi intrakranial, hemodinamik serebral menjadi sangat sensitif terhadap kenaikan suhu otak yang melebihi ambang 37oC. Fenomena ini biasanya tidak terdeteksi dengan pemantauan
TIK biasa karena kurangnya informasi tentang reaktivitas serebrovaskular. Oleh karena itu, TIK stabil setelah penghangatan kembali dari suhu hipotermia sedang mungkin kurang meyakinkan dan menginduksi kontrol suhu sistemik. Suhu
otak yang melebihi ambang 37oC terjadi
pada 70% pasien, dan ini dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak yang signifikan pada sebagian besar kasus (A. Lavinio et al., 2007).
Selama proses hipotermia dan penghangatan kembali, 88% dari 24 pasien, masing-masing memiliki
CRP rata-rata di
atas ambang batas 50 mg/L. Temuan ini sangat mengarah pada sepsis, dan mungkin menginterpretasikan penyebab dari peningkatan suhu otak yang berlebihan setelah proses penghangatan kembali pada sebagian besar pasien. Namun,
baik CRP dan WBC tidak berhubungan secara signifikan dengan PRx pasca-penghangatan kembali ketika ditambahkan pada suhu otak dan PtCO2 dalam analisa regresi berganda.
baik CRP dan WBC tidak berhubungan secara signifikan dengan PRx pasca-penghangatan kembali ketika ditambahkan pada suhu otak dan PtCO2 dalam analisa regresi berganda.
Studi yang dilakukan oleh A.
Lavinio et al.
(2007) merupakan studi retrospektif, sehingga tidak dapat disimpulkan
apakah peningkatan suhu yang berlebihan pada otak setelah penghangatan kembali merupakan faktor penyebab terjadinya gangguan reaktivitas
serebrovaskular. Penemuan itu mungkin dikaitkan dengan fenomena sepsis, yang menyebabkan pireksia dan gangguan pada reaktivitas serebrovaskular. Namun, sebelum ditemukannya hasil pasti dari studi prospektif
untuk menyikapi hal tersebut, disarankan untuk melakukan pengaturan dan pemantauan
suhu dengan cermat dan hati-hati setelah proses penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang. Sehingga dapat melindungi reaktivitas
serebrovaskular
pada pasien cedera kepala
yang diberikan terapi hipotermia sedang untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial.
Dalam Trisnawati & Munar (2008) dikatakan bahwa metode hipotermia ini
bermanfaat untuk mencegah atau mengurangi berbagai bentuk kerusakan neuron. Menginduksi
hipotermia dapat memberikan efek neuroprotektif pada pasien-pasien dengan
kerusakan neuron pasca trauma kepala. Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel
dan proses ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat
berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi trauma kepala. Hipotermia dapat mengurangi terjadinya gangguan pada
sawar darah otak dan memperbaiki permeabilitas vaskular sehingga mengurangi
edema pada jaringan serebral.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pada pasien
dengan cedera kepala, terapi hipotermia sedang dapat membantu untuk mengontrol peningkatan tekanan
intrakranial dan tidak menyebabkan terjadinya
gangguan reaktivitas serebrovaskuler.
Penurunan autoregulasi pada reaktivitas serebrovaskular terjadi ketika suhu dibiarkan melebihi 37oC setelah dilakukan proses penghangatan
kembali pada otak. Untuk mencegah terjadinya gangguan reaktivitas serebrovaskular yang parah, suhu sistemik harus dikontrol secara
cermat dan hati-hati setelah proses penghangatan kembali dari keadaan hipotermia sedang.
Penelitian ini didukung
dengan hasil studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dalam Trisnawati &
Munar (2008), didapati adanya perbaikan SKG (Skala Koma Glasgow) pada pasien
trauma kepala berat setelah dilakukan hipotermia (suhu tubuh 32°C - 33°C)
selama 24 jam. Namun pada suatu studi systematic
review didapati hipotermia sedang memberikan efek yang menguntungkan jika
diberikan lebih dari 48 jam dibandingkan 24 jam. Studi yang memasukkan
peningkatan TIK (TIK > 20 mmHg atau > 25 mmHg; nilai normal < 15 mmHg)
ke dalam kriteria inklusi, dan penurunan TIK sebagai salah satu penilaian
keefektifannya, studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dan Jiang JY, dkk
(2000) menunjukkan hipotermia dapat menurunkan tekanan tinggi intrakranial.
Selain itu, Lauralyn et
al. (2003) mengatakan bahwa terapi hipotermia dapat mengurangi risiko
mortalitas dan kerusakan neurologis pada pasien dengan trauma/cedera kepala. Manfaat
klinis yang paling baik didapat ketika pasien diberikan terapi hipotermia
dengan target suhu 32oC-33oC dengan durasi/ lama pemberian
> 48 jam dan kemudian dihangatkan kembali dalam waktu 24 jam setelah terapi
hipotermia dihentikan. Namun interpretasi hasil penelitian ini harus
diperhatikan karena uji coba penelitian ini dilakukan pada jumlah yang kecil
sehingga mungkin dapat menyebabkan hasil yang bias terhadap efek terapi.
Pada
penelitian yang dilakukan oleh WG Liu et al. (2006), dilaporkan bahwa hipotermia dapat melindungi jaringan otak pasca cedera kepala, terutama dengan membatasi tekanan intrakranial, mencegah atau mengurangi cedera otak sekunder, dan dengan demikian meningkatkan tekanan perfusi serebral. Ada beberapa metode hipotermia yang dapat digunakan. Hagioka et al. melaporkan bahwa pendinginan nasofaring dengan saline fisiologis (5%) memungkinkan penurunan suhu otak secara cepat dan selektif. Noguchi et al. menyimpulkan bahwa produksi
dingin dengan mengalirkan
saline ke dalam ruang subdural adalah efektif dan dapat digunakan dalam bedah saraf. Furuse et al. menunjukkan bahwa perfusi dari arteri karotis adalah cara lain untuk menghasilkan pendinginan. Induksi pendinginan yang cepat melalui intravena dengan pemberian kristaloid dingin merupakan teknik lain yang dapat digunakan. Ding et al. menjelaskan produksi dingin dengan infus saline lokal ke area otak yang iskemik, dalam studi in vivo, efektif menginduksi hipotermia dan memperbaiki cedera otak. Ini menunjukkan bahwa pendinginan kepala segera efektif dalam mencegah beberapa kerusakan
otak awal walaupun tidak melibatkan kondisi hipotermia secara sistemik.
IMPLIKASI DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN
Berdasarkan hasil penelitian,
terapi hipotermia sedang ini memiliki efektivitas dalam menurunkan tekanan
tinggi intrakranial dan mencegah kerusakan neuron pada pasien pasca trauma
kepala. Tindakan penghangatan kembali (rewarming)
yang dilakukan setelah penerapan hipotermia tidak merusak reaktivitas
serebrovaskular jika suhu tidak melebihi ambang 37oC. Oleh karena
itu, tim kesehatan terutama perawat dapat mencoba menerapkan metode hipotermia
ini pada pasien yang mengalami trauma kepala di ruangan instalasi gawat darurat.
Terapi hipotermia ini dapat dilakukan dengan segera untuk mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial dan mencegah kerusakan neuron pasca trauma kepala.
Pendinginan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan menggunakan cool blanket (selimut pendingin) atau
bilas lambung dengan menggunakan cairan NaCl dingin.
SIMPULAN
Peningkatan TIK sering terjadi pada pasien trauma kepala. Peningkatan TIK
> 20 mmHg telah mengindikasikan dibutuhkannya penanganan segera untuk
menurunkan TIK tersebut. Dari hasil temuan dalam penelitian ini dan penelitian lainnya,
salah satu cara untuk menurunkan TIK
tersebut adalah dengan melakukan terapi hipotermia. Hipotermia dapat berfungsi
sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma
kepala (48-72 jam). Hipotermia sedang (34-36ºC) membantu untuk
mengontrol peningkatan ICP (IntraCranial Pressure) dan tidak
mengganggu reaktivitas serebrovaskuler. Namun suhu, lama pemberian, dan
kecepatan dilakukannya penghangatan kembali (rewarming) harus dikontrol untuk mencegah efek dari peningkatan
suhu yang berlebihan (> 370C).
SARAN PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan hasil studi pada makalah
ini, yang membahas tentang terapi hipotermia untuk menurunkan tekanan tinggi
intrakranial (TTIK) pada pasien trauma kepala, disarankan untuk meneliti lebih
lanjut lama pemberian dan kecepatan dilakukannya penghangatan kembali yang
ideal untuk melihat tingkat keefektivannya. Selain itu, dapat dilakukan uji
coba pada jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat meminimalisir hasil
yang bias terhadap efek terapi dan interpretasi hasil penelitian lebih kuat.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Lavinio, I. Timofeev, J. Nortje, J. Outtrim, P. Smielewski, A.
Gupta, P. J. Hutchinson, B. F. Matta, J. D. Pickard, D. Menon, M. Czosnyka.
2007. Cerebrovascular Reactivity During
Hypothermia and Rewarming. British Journal of Anaesthesia. 99 (2): 237–44. Available
at : http://bja.oxfordjournals.org/ (diakses tanggal 07 Juli 2012)
Artikel Kedokteran. Edema Serebri.
Available at : http://artikelkedokteran.net/edema-serebri.html
Dicarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2004. h. 308-9.
Dunn LT. Raised
Intracranial Pressure. J Neurology Neurosurgical Psychiatry 2002;73 (suppl
1):i23-7.
Ismael S. Peninggian
Tekanan Intrakranial. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku
ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 60-77.
Jamie Alison Edelstein; James Li, Mark A
Silverberg, Wyatt Decker. Hypothermia.
(Medscape), 29 Oktober 2009. Diakses pada 14 Juni 2012.
Japardi, I. 2002. Tekanan
Tinggi Intrakranial. Available at http://repository.usu.ac.id/ (diakses tanggal 08 Juli 2012)
Japardi, S. 2004. Cedera Kepala. Medan : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Lauralyn A, Dean A, Paul C, David M, James S. 2003. Prolonged
Therapeutic Hypothermia After Traumatic Brain Injury in Adults. Journal of the American Medical Association. Available at : http://jama.jamanetwork.com/ (diakses tanggal 07 Juli 2012)
Nugroho,
S. 2009. Gambaran Pajanan Suhu Dingin terhadap Kejadian Hipotermia. Available at http://lontar.ui.ac.id/ (diakses tanggal 08
Juli 2012)
Tasker RC, Czosnyka M. Intracranial Hypertension and Brain Monitoring. Dalam: Fuhrman BP,
Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006. h. 828-45.
Trisnawati, Y. & Munar. 2008.
Tatalaksana Peningkatan Tekanan
Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat pada Anak dengan Metode Hipotermia.
USU Institutional Repository. Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18621/1/mkn-des2008-41%20(12).pdf
(diakses tanggal 29 Juni 2012)
UK. Government Advice on
Definition of an Emergency. Retrieved 2007. Available at : www.wikipedia.org
WG Liu, WS Qiu, Y
Zhang, WM Wang, F Lu, XF Yang. 2006. Effects
of Selective Brain Cooling in Patients with Severe Traumatic Brain Injury: a
Preliminary Study. The Journal of
International Medical Research 34: 58 – 64. Available at : http://www.ingentaconnect.com/content/field/jimr/2006/00000034/00000001/art00007 (diakses tanggal 10 Juli 2012)
Widiyanto, H. 2007. Kecelakaan Lalu
Lintas Pembunuh di Indonesia. Available at : www.dephub.go.id (diakses tanggal 10 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar