Kamis, 25 Oktober 2012

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL BAQARAH AYAT 1-5


TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL BAQARAH AYAT 1-5

1.       Alif Lam Mim
Tidak ada arti atas huruf-huruf ini.
2.       Dzalikal kitabu laa raiba fiihi hudallil muttaqiin.
Dzalika : Itulah
Al Kitabu : Kitab tertentu, dalam hal ini Al Qur’an.
Mengapa itulah. Tidak inilah? Menggambarkan bahwa Al Qur’an itu letaknya “jauh”, tidak “dekat”. Manusia belum dekat dengan Al Qur’an, kehidupan manusia masih sangat jauh dari aturan Al Qur’an, belum akrab, dekat, apalagi sampai tingkat mengamalkan Al Qur’an. Al Qur’an dianggap “asing” bagi kebanyakan manusia..

Laa : tidak ada
Raiba : keraguan
Fiihi : di dalamnya
Tidak ada keraguan di dalamnya (di dalam Al Qur’an), yang pertama disebut setelah tidak ada adalah keraguan, bukan didalamnya, bisa saja kalimatnya Laa fiihi raiba (tidak ada didalamnya keraguan). Mengapa keraguannya ditekankan terlebih dahulu sebelum keterangan tentang Al Kitab/Al Qur’an? Karena kebanyakan manusia sangat ragu, dan saking ragunya sama sekali tidak mau menyentuh/ membaca/mempelajari Al Qur’an.  
Raiba adalah bentuk keraguan yang paling rendah, hampir mendekati 100% tidak percaya atau bahkan tdk ragu lagi, sangat ragu hingga tidak percaya.
Raiba   :  sangat ragu
Syak   
Dzan
‘Ilmu
Yaqin

Hudallil muttaqiin.
Hudan  : petunjuk
Li   : bagi/ untuk
Al Muttaqiin : Orang-orang yang bertaqwa
Petunjuk : guidance, jalan-jalan yang harus ditempuh hingga sampai pada tujuan akhir yaitu ridho Alloh SWT (surga Nya). Petunjuk ini hanya digunakan atau ditujukan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Taqwa yang ada di dalam hati manusia yang menjadikannya mampu mempelajari, memahami, mengamalkan Al Kitab (Al Qur’an). Orang-orang yang bertaqwa layak mendapatkan manfaat dari Al Kitab (Al Qur’an), karena kunci-kunci hatinya terbuka oleh ketaqwaannya, hingga petunjuk dalam Kitab masuk ke dalam qalbu Nya, membuat hatinya tanggap, menyambut dan menerima Kitab suci ini.
Karenanya, orang yang ingin mendapatkan petunjuk dari Al Qur’an, haruslah datang kepadanya dengan hati yang bersih, sehat, tulus dan murni mencari kebenaran yang datang dari Tuhannya. Kemudian datang kepada Al Qur’an dengan hati yang takut dan berhati-hati, khawatir berada di dalam kesesatan dan diperdayakan oleh syetan yang menyesatkan.
Pada saat ini, terbukalah untuknya rahasia-rahasia dan cahaya Al Qur’an tercurah semuanya didalam hati yang datang kepadanya dengan taqwa, takut, responsif dan siap menerimanya.

Diriwayatkan bahwa Umar Bin Khaththab r.a. pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa, lalu Ubay menjawab sambil bertanya, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri? Umar menjawab,”Pernah.” Ubay bertanya lagi,”Apakah gerangan yang engkau lakukan?” Umar menjawab,”Aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya” Ubay berkata,”Itulah taqwa.”

Itulah taqwa, sensitivitas dalam hati, kepekaan dalam perasaan, responsif, selalu takut, senantiasa berhati-hati dan selalu menjaga diri dari duri-duri jalan, jalan kehidupan yang penuh dengan duri kesenangan dan syahwat.. duri-duri keinginan dan ambisi..duri-duri kekhawatiran dan katakutan, duri-duri harapan palsu manusia, duri-duri kekuasaan yang tidak dapat memberi manfaat ataupun mudharat, dan duri-duri lainnya yang banyak jumlahnya...

3.       Alladziina yu’minuuna bil ghaibi wayuqiimuunashsholaata wa mimma rozaqnaa hum yunfiquun.
Sifat-sifat orang-orang yang bertaqwa..
a.       Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.
Yu’minun : fi’il mudhoriy, selalu terus menerus (beriman), selalu beriman, tidak berbatas waktu. BI : dengan (100%) segalanya Al ghaib : secara spesifik dalam hal ini ghaib adalah Alloh SWT, sehingga dengan selalu beriman kepada Alloh, maka orang-orang yang bertaqwa yakin dengan Alloh dan segala sifat Nya. Manusia yang yakin dengan Alloh, maka Alloh adalah tujuan hidupnya, tidak ada yang lain.
Jika manusia sudah berhubungan dengan yang Maha ghaib, maka urusan dunia semua menjadi mudah, sehingga jiwa ini selalu merindukan berhubungan dengan Nya. Semua amal hanya ditujukan untuk mencari ridho Zat yang dirindukannya. Seorang laki-laki, demi cintanya pada seorang perempuan rela melakukan apa saja untuk meraih ridhonya, padahal keinginan manusia (wanita) selalu berubah-ubah, dan wanita yang dicintainya itupun suatu saat akan mati. Dengan segala yang berbatas seperti itu saja, manusia rela berkorban, maka mengapakah untuk Zat yang senantiasa mengasihi dan menyayangi, hidup abadi, tidakkah kita mengorbankan segala-galanya untuk Nya?
Dengan meyakini Alloh dengan segala sifatNya, maka terpeliharalah manusia dari bertindak yang sewenang-wenang, melampaui batas dan sibuk dengan semua urusan yang melalaikanya dari taat kepada Alloh. Sesungguhnya segala kemampuan beramal manusia hanyalah ditujukan untuk menegakkan kekhilafahan di muka bumi.
Iman kepada yang Ghaib, adalah persimpangan jalan dalam mengangkat martabat manusia dari martabat binatang, akan tetapi golongan materialis pada setiap zaman (termasuk kini) ingin mengembalikan manusia ke titik terendah, ke “dunia binatang”, yang keberadaannya tiada lain hanyalah untuk sesuatu yang dapat dicapai panca indranya saja, hingga pemuasan nafsu mengikuti perilaku binatang. Inilah Alloh memberikan petunjuk bagi orang-orang beriman dengan melindunginya dari keterpurukan martabat.
b.      Wayuqiimuunashsholat
Dan orang-orang yang mendirikan sholat..
Yuqiimuun : selalu, setiap waktu mendirikan
Ash sholat : sholat
Selalu terus menerus sholat, sholat 5 waktu ditambah sholat sunnah seperti rawatib, sholat dhuha dan qiyamullail. Sholat adalah bukti tunduknya jiwa kepada Alloh, hatinya selalu bersujud dan berhubungan dengan Alloh SWT siang dan malam, berhubungan dengan Zat yang menjadi sumber kekuatan langit dan bumi. Inilah persepsi rabbaniyah, perasaan rabbaniyah dan perilaku rabbaninyah, “yang selalu disertai dengan bimbingan keTuhanan.”
c.       Wamimma rozaqnaahum yunfiquun.
Dan dari sebagian apa2 (segala sesuatu) rizqi yang telah kami berikan kepada mereka, mereka meng infakkannya.
Mengapa infaq tempatnya di akhir? karena segala rizqi itu berasal dari Alloh, bukan ciptaan dirinya sendiri. Mengeluarkan rizqi yang sudah diberikan oleh Alloh (fi’il madhi : past tense) merupakan cermin pembersihan jiwa dari penyakit bakhil dan penyuciannya dengan melalukan kebajikan. Inilah lapangan kehidupan untuk saling tolong-menolong, untuk memberikan rasa aman kepada yang tak berdaya, lemah dan terbatas.
Infaq dalam hal ini mencakup zakat dan shodaqoh, segala hal yang dinafkahkan untuk kebaikan dan kebajikan, dan infaq disyari’atkan sebelum disyari’atkannya zakat, karena infaq merupakan pokok yang menyeluruh, yang dikhususkan oleh nash-nash zakat namun tidak menghabiskan semuanya.
“Sesungguhnya pada harta itu terdapat kewajiban selain zakat.” (HR. At Tirmidzi)

4.       Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila minqoblika wabil aakhiroti hum yuuqinuun.
Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan dari sebelum kamu ....
Yu’minuuna : selalu, terus menerus beriman, bi : dengan/kepada 100% , maa : segala apa2 , unzila : yg telah diturunkan , ilaika : kepadamu (Muhammad), yaitu Al kitab/Al Qur’an.

Inilah gambaran dari orang-orang yang bertaqwa, bahwa mereka mengimani 100% terhadap segala apapun yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa Alkitab (Al Qur’an). Hal ini sejalan dengan cara pandang orang-orang yang bertaqwa, yang memandang bahwa tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Al Kitab (Al Qur’an), sehingga Al Qur’an ini menjadi petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam ayat ini Alloh menegaskan kembali bahwa orang-orang yang bertaqwa itu tiada henti-hentinya menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk dan selalu mengimaninya (dengan mengamalkan semua isi Al Kitab/Al Qur’an).
Beriman kepada apa2 yang telah diturunkan dari sebelum kamu (Muhammad)...
Mengimani bahwa ada rangkaian diturunkannya Nabi-nabi dan Rasul-rasul di setiap zaman/waktu dan berbeda tempat sebelum Nabi Muhammad, yang para Nabi dan Rasul itu membawa Risalah yang sama yaitu Tauhidulloh (penyembahan hanya kepada Alloh). Dan bahwa para Nabi itu membawa risalah dengan Kitabnya masing-masing, sesuai dengan keadaan kaumnya pada masa itu. Dan bahwa inti dari semua isi kitab adalah mengajak manusia hanya menyembah Alloh semata.
Inilah sifat dari kaum muslimin, menjadi generasi pewaris para Nabi dengan agama samawi , adanya kesatuan dan persaudaraan antar umat manusia meskipun berbeda generasi, kesatuan dan persatuan yang diikat oleh kesamaan aqidah, kesamaan keimanan kepada semua Nabi-nabi dan Rasul-Rasul, kesamaan pada keimanan terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepada seluruh Rasul. Keimanan bahwa Alloh menjaga manusia dari setiap zaman dan generasinya, dari para penyesat dan golongan manusia yang menentangnya, dengan menurunkan para Rasul dan Kitab-kitabnya, yang memberi petunjuk manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan aqidah yang lurus. 
Orang-orang yang bertaqwa pun mengimani jalan hidup semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul, dan sepak terjang da’wahnya ketika berda’wah ditengah kaumnya. Menjadikan setiap perjalanan hidup dan da’wahnya sebagai ‘ibrah (pelajaran) yang bisa ditiru dan diambil hikmahnya.

Wabil aakhiroti hum yuuqinuun.
Wa : dan, bi : dengan 100%, Al Akhirot : negeri akhirat, hum : mereka , yuuqinuun : selalu, terus menerus yakin.
Orang-orang yang bertaqwa 100% terhadap adanya negeri akhirot selalu terus menerus yakin. Akibat keyakinannya ini menjadikannya hidup di dunia ini hanyalah bagian dari rangkaian kehidupan dan kematian yang sudah Alloh tentukan masanya. Bahwa setiap amal tiadalah yang sia-sia dan selalu ada pembalasan, setiap perbuatan baik dibalas dengan pahala, ampunan dan ridho Nya, dan setiap perbuatan buruk dibalas dengan kehinaan, siksa dan adzab yang pedih, dan ini adalah keadilan dari Alloh SWT. Manusia tidak diciptakan dengan sia-sia, ada makna dan tujuan dari penciptaan. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang menganggap hidup di dunia adalah segala-galanya baginya di alam semesta, sehingga mereka merasa mempunyai “kekuasaan penuh” dalam berbuat dimuka bumi, dengan sewenang-wenang dan melampaui batas, berbuat semaunya dengan memperturutkan hawa nafsu dan keserakahannya sebagai manusia.
Orang-orang yang bertaqwa menjadikan kehidupan dunia sebagai sasaran ujian yang mengantarkannya untuk mendapatkan pembalasan, sedangkan kehidupan yang hakiki adalah di negeri akhirat yang tidak berbatas waktu....

5.       Ulaaika ‘alaa hudamirrobbihim wa ulaaika humul muflihuun.

Mereka itulah  orang-orang yang atas mereka hidaya/petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yg beruntung.

Setelah Alloh menerangkan (dari ayat 2) tentang Al Qur’an yang tidak ada keraguan didalamnya, orang-orang yang bertaqwa menjadikan Al Qur’an itu petunjuk/hidayah atas kehidupannya, (dari ayat 3) dan orang2 yang bertaqwa itu selalu terus menerus beriman kepada yang Ghaib (Alloh), dan selalu terus menerus mendirikan sholat siang dan malam, pagi dan sore, dan selalu atas rizqi yang telah Alloh berikan atas mereka, mereka menginfakkannya, (dari ayat 4) dan orang-orang yang bertaqwa itu selalu terus menerus beriman kepada segala apa yang telah diturunkan Alloh kepada Nabi Muhammad dan selalu terus menerus beriman kepada segala apa yang telah diturunkan kepada Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad, dan mereka terhadap negeri akhirat termasuk yang selalu terus menerus yakin.
Maka inilah kesimpulan dari orang-orang yang bertaqwa dan keseluruhan amalnya di dunia, bahwa merekalah orang-orang yang hidup dibawah petunjuk Al Qur’an dari Tuhan (rabb) mereka, Al Qur’an hidup dalam diri mereka dan sepanjang kehidupannya di dunia, hingga Alloh memanggilnya (wafat), dan diujung kehidupannya di dunia, awal dari kematian kedua sebelum kehidupannya yang kedua, orang-orang yang bertaqwa sudah mendapati apa yang dijanjikan Alloh bahwa mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dunia adalah tempat berjual beli antaraoarang-orang yang bertaqwa dengan Alloh, dan setelah selesai transaksi, maka orang-orang yang bertaqwa mendapatkan lab (keuntungan) yang besar, berupa pahala, ampunan dan Ridho Alloh (Jannatun na’im).

Wallohu a’lam bishshowwab..

3 komentar: