Kamis, 25 Oktober 2012

ARTIKEL REVIEW HIPERSALINE DEXTRAN (7,5% SALINE WITH 6% DEXTRAN-70) FOR HYPOVOLEMIC SHOCK


HIPERSALINE DEXTRAN (7,5% SALINE WITH 6% DEXTRAN-70) FOR HYPOVOLEMIC SHOCK
REVIEW


ABSTRACT
Research in the small scope has been done to validate the use of fluid resuscitation for hypovolemic shock treatment. Fluid resuscitation is an important action for nursing practice, particularly in patients with hypovolemic shock. Proper use of fluids in hypovolemic shock treatment from many developed and tested.
This paper aims to review the use of fluids used to treat hypovolemic shock to determine whether the use of liquid Hipersaline dextran (HSD 7.5% saline in 6% dextran 70) can be an alternative in patients with emergency and critical condition.
In this paper a systematic review of studies that tested the four journals on the use of HSD in patients with fluid and critical emergency. This paper identified through CEArticle, NIH-PA, original articles, and NATA by using search terms: "'Hypovolemic Shock', Saline (NaCl) and 'Hipersaline dextran'".
Journal observed in this paper is a prospective experimental study using blinded randomized control tria) and meta-analysis. The samples taken in the immediate occurrence of the accident, while in a vehicle (ambulance or helikcopter) and in the emergency room (ER). The study sample of patients with trauma ditatanan prarumah pain, hypotension (SBP <80-100), hypovolemic shock, patients require blood transfusions or surgical intervention, patients with early signs of ≥ 108 pulse / min and GCS ≤ 8, patients with the standard of care ( standard of care / SOC), severe head trauma. Samples with the inclusion criteria of trauma patients aged ≥ 18 years, systolic <90 mmHg, and changes in mental status (GCS <15) in pre-hospital. Exclusion criteria are age <18 years old, pregnant patients, CPR in progress. Given the study sample is then evaluated the effectiveness of fluid resuscitation fluid resuscitation based on how well the development of a client state of the blood pressure, and the safety of research subjects.
HSD fluids tested in this study could address the occurrence of hypovolemic shock, so that patients can improve survival and prevent the occurrence of organ failure after trauma.
The use of liquid HSD in patients with emergency and critical, it is advisable for nurses to nurse knows how to handle patients with hypovolemic shock, as well as what the patient's condition may have hypovolemic shock. Also, it can be input to a hospital for the procurement of HSD fluid in the treatment of patients with hypovolemic shock. For further research, it is advisable to conduct further research on the effectiveness of using liquid HSD in Indonesia, given the fluid supply HSD is still limited.
Key words: Hypovolemic Shock, Saline (NaCl), Hipersaline dextran (HSD)

ABSTRAK
Penelitian dalam lingkup kecil telah dilakukan untuk memvalidasi resusitasi cairan yang digunakan untuk penanganan syok hipovolemik. Resusitasi cairan adalah tindakan yang penting bagi praktik keperawatan, khususnya pada pasien dengan syok hipovolemik. Penggunaan cairan yang tepat dalam penanganan syok hipovolemik mulai banyak dikembangkan dan diuji.
Makalah ini bertujuan untuk meninjau mengenai penggunaan cairan yang digunakan untuk mengatasi syok hipovolemik untuk menentukan apakah penggunaan cairan Hipersaline Dextran (HSD yaitu 7,5% saline dalam 6% Dextran 70) dapat  menjadi alternatif pada pasien dengan kondisi kegawatdaruratan dan kritis.
Dalam makalah ini meninjau secara sistematis empat jurnal penelitian yang menguji tentang penggunaan cairan HSD pada pasien dengan kegawatdaruratan dan kritis. Makalah ini diidentifikasi melalui CEArticle, NIH-PA, original articles, dan  NATA dengan menggunakan istilah pencarian: " ‘Hypovolemic Shock’, Saline (NaCl) and ‘Hipersaline Dextran’ ”. Jurnal yang diamati dalam makalah ini merupakan penelitian prospective eksperimental dengan menggunakan metode blinded randomized control tria) dan meta analisis. Sampel penelitian di ambil di tempat langsung terjadinya kecelakaan, saat di kendaraan (ambulans atau helikcopter) dan di UGD (Unit Gawat Darurat). Sampel penelitian yaitu pasien dengan trauma ditatanan prarumah sakit,  hipotensi (SBP < 80-100), syok hipovolemik, pasien memerlukan transfusi darah atau intervensi bedah, pasien dengan tanda awal nadi ≥ 108 x/menit dan GCS ≤ 8, pasien dengan standar perawatan (standard of care/SOC), trauma kepala berat. Sampel dengan kriteria inklusi yaitu pasien trauma usia ≥18 tahun, sistolik < 90 mmHg, dan perubahan status mental (GCS <15) dalam pra-rumah sakit. Kriteria eksklusi yaitu usia <18 tahun, pasien hamil, CPR sedang berlangsung. Sampel penelitian diberikan resusitasi cairan kemudian dievaluasi kefektifan resusitasi cairan berdasarkan bagaimana perkembangan kondisi klien baik dari tekanan darah, dan tingkat keselamatan subjek penelitian.
Cairan HSD yang diuji dalam studi ini dapat mengatasi terjadinya syok hipovolemik, sehingga dapat meningkatkan survival pasien dan mencegah terjadinya kegagalan organ akibat trauma.
          Penggunaan cairan HSD pada pasien dengan kegawatdaruratan dan kritis, disarankan untuk perawat agar perawat mengetahui cara penanganan pasien dengan syok hipovolemik, serta kondisi pasien apa saja yang dapat mengalami syok hipovolemik. Selain itu, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit untuk pengadaan cairan HSD dalam penanganan pasien dengan syok hipovolemik. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang efektifitas penggunaan cairan HSD di Indonesia, mengingat penyediaan cairan HSD yang masih terbatas.
Kata kunci: Syok hipovolemik, Saline (NaCl), Hipersalin Dextran (HSD)

PENDAHULUAN
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap berlangsung secara normal.
Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula diberikan secara intravena. Dalam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit.
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok haemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.

LATAR BELAKANG
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik.
Indonesia  merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Jumlah penduduk Indonesia pada 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah penduduk yang padat dengan kemajuan IPTEK merupakan salah satu faktor Indonesia mengalami kecenderungan terhadap situasi kegawatdaruratan. Kasus kecelakaan di Indonesia tahun 2003 tercatat 24.692 dengan korban meninggal 9. 856 jiwa (Profil Kesehatan Indonesia).
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan perawat di beberapa ruang intensif dan ruang gawat darurat di RSUP Dr. Hasan Sadikin bahwa penanganan resusitasi cairan pada syok hipovolemik dan syok hemoragik yang dilakukan adalah dengan pemberian dekstrose 5%, NaCl 0,9%, dan Ringer Laktat. Pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dengan tekanan sistolik ≤ 80 mmHg diberikan therapi NaCl 0,9 %.
Kasus kecelakaan lalu lintas umumnya sangat rentan mengalami trauma atau fraktur. Kondisi kegawatdaruratan yang perlu diantisipasi adalah kejadian syok hipovolemik yang merupakan efek langsung dari perdarahan yang mengakibatkan tubuh kekurangan volume darah (syok hemoragik).
Pada awalnya untuk mengatasi syok hemoragik dilakukan resusitasi konvensional syok hemoragik traumatik dengan menggunakan intravena isotonik (normal saline) atau sedikit hipotonik (Ringer Laktat) dalam pengaturan kehilangan cairan pra-rumah sakit. Meskipun tidak konklusif, penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa resusitasi alternatif dengan salin hipertonik (7,5%) dapat mengurangi angka kematian pada pasien. Hipertonik salin-dekstran (HSD) (7,5% garam dengan 6% dextran-70) telah diteliti sebagai cairan resusitasi alternatif pada pasien yang menderita luka parah, HSD menghasilkan peningkatan tekanan osmotik serum, yang mengarah pada redistribusi cairan dari interstisial ke ruang intravaskular. Redistribusi ini dapat menyebabkan pemulihan yang cepat dari sirkulasi volume intravaskular dibandingkan dengan larutan kristaloid isotonik atau hipotonik dan dapat mengakibatkan penurunan akumulasi volume ekstravaskuler. Efek osmotik HSD telah terbukti mengurangi tekanan intrakranial di otak pada pasien. Dengan demikian, kombinasi dari perfusi sistemik meningkat sehingga dapat meningkatkan perfusi serebral. Penurunan tekanan intrakranial dapat meminimalkan perkembangan cedera otak sekunder.
          Studi terbaru menunjukkan dampak dari larutan hipertonisitas pada pembatasan respon proinflamasi sirkulasi sel inflamasi.http://static.ak.fbcdn.net/images/blank.gif Dengan demikian, larutan hipertonik dapat memiliki efek menguntungkan tambahan dengan modulasi respon immune inflammatory berlebihan setelah iskemia sistemik atau cedera reperfusi.
Dekstran awalnya ditambahkan pada larutan ini dalam upaya untuk memperpanjang efek peredaran darah hipertonisitas. Namun penghapusan komponen dekstran dapat meningkatkan efek anti-inflamasi dari larutan ini, yang dapat mengurangi risiko komplikasi akhir setelah cedera.

Syok Hipovolemik
Syok  yaitu hambatan di dalam peredaran darah perifer yang menyebabkan perfusi jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat makanan dan membuang sisa metabolisme (Theodore, 93), atau suatu  perfusi jaringan yang kurang sempurna.
Syok Hipovolemik (Kekurangan volume ECF) didefinisikan sebagai kehilangan cairang tubuh isotonic, yang disertai kekurangan natrium dan air dalam jumlah relatif sama (Patofisiologis, Volume 1, Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2006).
Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada risiko syok hipovolemik yaitu kehilangan cairan eksternal seperti trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare, diuresis, dan diabetes insipidus; Perpindahan cairan internal hemoragi internal, luka bakar, asites, dan peritonitis.
Stadium Syok dibagi menjadi 3 yaitu Stadium Kompensasi degan cirri-ciri:    MAP menurun 10-15 mmHg; mekanisme kimia dan ginjal diaktifkan; pelepasan renin, ADH, aldosteron, katekolamin mengakibatkan GFR menurun dan urine output menurun, reabsorbsi Na meningkat-vasokonstriksi sistemik; dan hipotensi jaringan organ non vital dan ginjal. Stadium intermediate memiliki tanda dan gejala: MAP menurun lebih dari 20 mmHg; kompensasi tak begitu lama untuk menyuplai oksigen; hipoksia organ vital, organ lain mengalami anoxia, iskemik yang selanjutnya menyebabkan sel-sel jaringan rusak dan dapat mengancam jiwa; dan koreksi dalam 1 jam (golden hour). Stadium Irreversible, dengan tanda: anoxia jaringan dan kematian sel meningkat; sel tersisa metabolisme  anaerob; dan terapi tidak efektif .
Ada 4 tahapan Syok Hipovolemik. (1). Tahap 1: Kehilangan darah hingga 15% volume (750ml), RR normal, kepucatan dari kulit , dedikit kegelisahan. (2). Tahap 2: 15-30% volume darah hilang (750 - 1500ml), RR meningkat, meningkatkan tekanan diastolic, denyut nadi lemah, agak kuatir atua Restless. (3). Tahap 3: 30-40% volume kehilangan darah (1500 - 2000ml), BP 100 mmHg atau kurang, tanda-tanda klasik hypovolemic shock yaitu tachycardia> 120 bpm dan tachypnoea> 30 bpm, penurunan tekanan sistolik, perubahan dalam status mental (Anxiety, Agitation), dan berkeringat dingin, kulit pucat. (4). Tahap 4: kerugian lebih besar dari 40% (> 2000ml), ekstrim tachycardia dengan nadi lemah, pronounced tachypnoea, sistolik tekanan darah sebesar 70 mmHg atau kurang, penurunan tingkat kesadaran, kulit berkeringat dan sangat pucat.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: turunnya turgor jaringan; mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta bola mata cekung. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit, penting untuk mengenali tanda-tanda syok, seperti: Kulit dingin, pucat, takhikardia, hipotensi, dan oliguria (produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam atau 400 cc/jam).
Salah satu penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu untuk mengatasi fluid volume deficit yaitu dengan cara terapi intravena: (1) Ringer laktat dan natrium klorida 0,9%.  Keduanya merupakan kristaloid, adalah dua cairan isotonic yang umumnya digunakan dalam mengatasi syok hipovolemik (Imm & Carlson, 1993), harus diberikan cairan dalam jumlah yang besar untuk memulihkan volume intravaskuler karena larutan kristaloid isotonik berpindah dengan bebas antara kompartemen cairan tubuh dan tidak tinggal dalam system vaskular. (2) Koloid yaitu albumin, WB, PRC, dan plasma (plasmanat, dekstran 6%) kini banyak digunakan. (untuk mengembalikan volume plasma dan tekanan osmotik).

Cairan Hipersaline Dextran
Larutan hipertonik intravena telah ada selama bertahun-tahun dalam bentuk larutan natrium klorida dengan konsentrasi antara 2,5% sampai 10%. Saat ini telah mengalami kemajuan mengenai larutan koloid yang bertujuan sebagai plasma ekspander, telah dikembangkan dari protein suhu sensitif ke polisakarida molekul besar. Kemajuan yang lebih baru lagi yaitu kombinasi dari kedua jenis larutan menjadi larutan hipertonik koloid dengan volume yang kecil. Larutan ini adalah kombinasi 7,5% natrium klorida (NaCl) dengan 6% dekstran 70 atau sering disebut Hypertonic Saline Dextran (HSD). HSD ini biasanya dikemas dalam 250 ml.
Kombinasi Dekstran 70, yang merupakan koloid hiperonkotik, dengan NaCl 7,5% akan mempertahankan volume vaskuler. Larutan hipertonik salin 7,5% dan dekstran 70 6% ini telah diteliti sebagai cairan resusitasi alternatif untuk pasien yang mengalami luka parah. Larutan ini dapat meningkatkan tekanan osmotik serum yang dapat memindahkan cairan dari interstisial ke ruang intravaskuler. Efek osmotik larutan HSD ini telah terbukti dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan perfusi sistemik dan serebral, dan mungkin terhadap pengaturan respon inflamasi pada pasien iskemia.
Dosis yang dianjurkan tidak melihatberat bedan pasien. Dalam sebagian besar studi yang tersedia larutan hipertonik diberikan dalam waktu 2 jam setelah trauma. Oleh karena itu, dianjurkan bahwa solusi salin hipertonik menjadi cairan awal diberikan pada resusitasi pasien dengan hipotensi dan cedera traumatis.
Dikatakan bahwa 250 ml HSD setara dengan 2-3 liter larutan isotonik seperti Ringer Laktat (RL) yang dapat meningkatkan volume darah pada pasien hipovolemik. Saat ini, protokol pra rumah sakit dari Canadian Forces (CF) memberikan dosis pasien 20 ml/kg isotonik (Normal Saline 0,9% atau Ringer Laktat) ke dalam bolus untuk mengembalikan tekanan darah sistemik sampai 80 mmHg. Biasanya dibutuhkan 2-4 liter cairan untuk mempertahankan tekanan darah. Dengan HSD, 250 ml diberikan sudah cukup efektif. Jika tekanan darah sistemik tidak naik sampai 80 mmHg setelah 60 menit, 250 ml HSD kedua dapat diberikan. Setelah HSD diberikan, larutan isotonik dapat diberikan.
NaCl dan dekstran akan diekskresi melalui ginjal, meskipun dekstran juga dapat dikeluarkan oleh saluran pencernaan setelah dimetabolisme. Dekstran 70 didegradasi menjadi glukosa oleh dekstranase di limpa dan kemudian dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air. Setelah 24 jam, 30% dekstran tersisa dalam plasma darah untuk dibuang pada beberapa hari berikutnya. Konsentrasi NaCl yang tinggi dalam darah merupakan stimulus untuk sistem umpan balik dari reseptor di otak din arteri. Peningkatan kadar Na memicu atrial natriuretic peptide (ANP) yang meningkatkan absorpsi dan eliminasi oleh ginjal. Dalam studi sebelumnya dikatakan bahwa konsentrasi tinggi dari 7,5% saline akan memperpanjang prothrombin time (PT) dan mengurangi agregasi trombosit. Melihat ekspansi volume plasma yang cepat setelah infus HSD, dilakukan penelitian dengan hipotesis bahwa efek HS terhadap koagulasi tidak memiliki signifikan klinis ketika HSD dilakukan untuk terapi hipotensi hemoragik.HSD tidak terlalu mempengaruhi PPT, APTT, agregasi trombosit.
Komponen HSD ini salah satunya adalah salin hipertonik yang dapat mengembalikan hemodinamik sentral, menormalkan mikrosirkulasi yang rusak, menekan kebutuhan cairan, dan menawarkan perlindungan pada miokardium yang mengikuti trauma dan luka bakar. Larutan hipertonik bekerja secara osmotik, menarik air, terutama cairan seluler, tanpa efek berlawanan dari hipernatremia yang ditunjukkan oleh pasien-pasien trauma yang diresusitasi dengan 4 mL/kg NaCl 7,5%. Salin hipertonik juga menjaga fungsi miokardium dan mempertahankan sistem imun kompeten. Studi eksperimental dalam menangani sepsis telah menunjukkan peran salin hipertonik sebagai resusitasi memilki kemampuan untuk mengubah efek volue-sparing ke efek protektifnya pada sistem imun dan miokardium.
Komponen lain dari HSD adalah dekstran 70. Dekstran 70 adalah glukan, polisakarida yang terbentuk dari molekul glukosa. Molekul dekstran 70 (berat molekul 70.000) mempunyai partikel tambahan untuk meningkatkan jumlah cairan dan efek osmotik koloid. Dibandingkan dengan masuknya cairan osmotik yang disebabkan oleh NaCl, infus dekstran memperluas volume yang sedikit lebih lebih dari volume (1 mOsm / L). Bahkan penelitian telah menunjukkan bahwa meskipun menambahkan 6g/L dekstran, volume konsentrasi plasma turun sampai 5 g/L. Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat molekul dekstran telah terikat baik dengan protein dalam plasma atau sudah mulai dimetabolisme.
Cairan kristaloid dapat mengganti dan mempertahankan volume cairan ekstraselular. Oleh karena itu, 75-80% cairan kristaloid yang diberikan secara IV menuju ruang ekstravaskular dalam satu jam (dengan waktu paruh 20-30 menit), maka cairan kristaloid sangat diperlukan untuk rehidrasi interstisial. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi (Dextran 70 denggan berat molekul 60.000-70.000 dengan aktivitas osmotic yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.

METODE PENELITIAN
Masing-masing dari empat penelitian bertujuan untuk menguji keefektifan penggunana hipertonik salin-dekstran (HSD) (7,5% garam dengan 6% dextran-70) untuk penanganan syok hipovolemik. Pada makalah ini akan dibahas mengenai keefektifan penggunaan HSD dalam penanganan syok hipovolemik di prarumah sakit dan rumah sakit, efek dari penggunaannya pada berbagai kasus penyakit sampai pengaruh resusitasi (HSD) pada respon kekebalan tubuh bawaan setelah cedera. Hal ini bertujuan untuk membuktikan hipertonik salin-dekstran (HSD) (7,5% garam dengan 6% dextran-70) tepat untuk digunakan pada praktek klinis kegawatdaruratan maupun pasien kritis akibat syok hipovolemik.
Artikel review ini disusun berdasarkan pencarian data berasal dari jurnal CEArticle, NIH-PA, original articles,dan  NATA yang berisi tentang bagaimana larutan hipertonik salin dekstran dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien syok hemoragik, syok hipovolemik, dan dapat mengurangi cedera setelah trauma berat.

Rancangan Penelitian
Tiga dari empat studi yang diamati pada makalah ini merupakan artikel review. Dengan membahas hasil penelitian dengan referensi dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Jurnal yang diamati dalam makalah ini merupakan penelitian prospective eksperimental dengan menggunakan metode blinded randomized control tria) dan meta analisis (Bulger EM, 2011).
          Penelitian ini menggunakan formulasi cairan HS (7.5% NaCl) dan HSD (7.5% NaCl in 6% Dextran 70). Pasien di tempat langsung terjadinya kecelakaan, saat di kendaraan (ambulans atau helikopter) dan di UGD (Unit Gawat Darurat). sampel penelitian ditentukan secara acak dan diberikan cairan resusitasi secara blinded dan kemudian dievaluasi kefektifan resusitasi cairan berdasarkan bagaimana perkembangan kondisi klien baik dari tekanan darah, dan tingkat keselamatan subjek penelitian (Bulger EM, dan Jennifer 2011).
          Pada jurnal Hypertonic Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries. 2012. menjelaskan hasil penelitian eksperimental dan meta analisis, (Wade C, Grady J, Kramer G. 1997)
          Pada penelitian Eileen M Bulger,et al. dalam Hypertonic Resuscitation Modulates the Inflammatory Response in Patients With Traumatic Hemorrhagic Shock.(2007). menggunakan metode prospective, randomized controlled, ,double blinded trial. Dengan pasien yang berbasis pada penilaian dokter dipilih untuk penelitian laboratorium diharapkan bertahan >48 jam. Sampel darah Serial diperoleh untuk pasien. Sampel pertama diambil dalam waktu 12 jam kedatangan, dan sampel berikutnya diambil pada 24 jam, 72 jam dan 7 hari setelah cedera. Penelitian ini disetujui oleh University of Institutional Review Washington Dewan untuk penelitian yang melibatkan subyek manusia. Tiga puluh mililiter darah ditarik ke dalam jarum suntik dilapisi dengan natrium sitrat. PMN dan darah perifer sel mononuklear (PBMC) kemudian diisolasi dengan menggunakan Ficoll Paque density centrifugation. PMN kemudian dinilai menggunakan uji nitro-blue tetrazolium.

Sampel Penelitian
Masing-masing dari studi dalam makalah menggambarkan populasi pasien berasal baik dari prarumah sakit maupun rumah sakit. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode blinded randomized control trial . Metode terkontrol secara acak (randomized controlled trial) ini paling sederhana tapi luar biasa karena kelompok subjek penelitian ditentukan secara acak, sehingga akan diperoleh kesetaraan kelompok yang berada dalam batas-batas fluktuasi acak. Selain pengacakan para peneliti menggabungkan strategi metodologi lain yaitu blinded yang bertujuan untuk mengurangi risiko bias, satu di mana sekelompok individu yang terlibat dalam uji coba tidak tahu intervensi mana diberikan kepada subjek yang mana.
Tiga dari makalah penelitian juga menyertakan kriteria inklusi dan eksklusi untuk pasien yang dapat dilibatkan dalam penelitiannya. Selain kriteria inklusi dan eksklusi, tidak ada informasi lebih lanjut  mengenai strategi peneliti pada tiap studi untuk prosedur seleksi pasien. Tidak jelas apakah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama masa studi dimasukkan atau tidak.

Analisis Data
Keys and Johnson (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Hypertonic Saline Solution in Shock Resusitation”, menyebutkan bahwa anjuran dosis yang untuk penggunaan HSS adalah 2,5 – 5 mL/kg dan kecepatan < 1 mL/kgBB/menit. Untuk penggunaan HSD, dosisnya 2-6 mL/kg atau dapat pula dikombinasikan dengan criteria : 2-6 mL/kg (NaCL 7%) + 4-6 / kg (Dekstra 70). HSS dan HSD aman untuk digunakan pada kondisi syok hipovolemik, traumatic brain injury, gastric dilatation-volvulus, dan luka bakar.
Sedangkan Nata (2010) dalam jurnalnya “Hypertonic Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries” menyebutkan bahwa penelitian ini menggunakan metode doubled blinded studies pada pasien dengan hipotensi dan yang mengalami trauma, diantaranya yaitu pada pasien dengan pembedahan, hipotensi akibat penyempitan aorta, pasien yang sedang dialkukan dialysis, hipotensi akibat pendarahan ulserasi lambung, pasien dengan luka bakar atau sepsis, peningkatan TIK (Tekanan Tinggi Intrakranial) dan peningkatan aliran darah serebral melihat perbaikan dalam kelangsungan hidup pasien yang mendapatkan terapi HS, terutama hypertonic saline dextran (HSD) yaitu 7.5% NaCl in 6% Dextran 70.  Hasil menunjukkan adanya keuntungan yang baik pada pasien dengan pembedahan atau pasien yang memiliki prognosis buruk.
Bulger, et al (2007) dalam jurnalnya “Hypertonic Resuscitation Modulates the Inflammatory Response in Patients With Traumatic Hemorrhagic Shockbahwa Metode penelitian ini adalah prospektif, randomized dan double-blind trial pada sekelompok pasien yang mengalami shock hipovolemik dengan HSD (250 mL) dibandingkan dengan RL sebagai resusitasi cairan awal yang diukur berdasarkan hasil sampel darah (12, 24, 72 jam dan 7 hari


No.
Jurnal&Penulis
Penelitian/Tahun
Sampel
1
7.5% Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic Shock (Bulger,EM 2011)
Holcroft et al., 1987
Pada 49 pasien trauma ditatanan prarumah sakit
Holcroft et al., 1989
Pada 32 pasien trauma yang  hipotensi di tatanan rumah sakit (SBP < 80)
Vassar et al., 1991
Pada 166 pasien trauma ditatanan prarumah sakit (SBP < 100)
Mattox et al., 1991
Pada 359 pasien trauma 72 % trauma tusuk ditatanan prarumah sakit (SBP < 90)
Younes et al., 1992
Pada 105 pasien syok hipovolemik di tatanan rumah sakit (SBP < 80)
Vassar et al., 1993
258 pasien trauma ditatanan prarumah sakit (SBP < 90)
Vassar et al., 1993
194 pasien trauma ditatanan prarumah sakit (SBP < 90)
Younes et al., 1997
212 pasien syok hipovolemik ditatanan rumah sakit
Wade et al. 1997

Pada 1395 pasien memerlukan transfusi darah atau intervensi bedah segera untuk perdarahan dan  223 pasien hipotensi.
Brasel KJ, Bulger EM, Cook AJ, et al. 2008
Sampel 894 pada tanda-tanda vital awal dari SBP kurang dari 70 mmHg atau 70-90 mmHg dengan denyut jantung ≥ 108 denyut / menit dan GCS ≤ 8 pra-rumah sakit.
Bulger EM, May S, Brasel KJ, et al. 2010
Pada  1327 pasien trauma kepala berat di tatanan pra rumah sakit
2
Hypertonic Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries
Wade C, Grady J, Kramer G.  1997
719 pasien cedera traumatis diberi HSD saja (340 pasien) dan 379 pasien dengan standar perawatan (standard of care/SOC).
3
Hypertonic Saline Solution in Shock Resusitation
Keys,J and Johnson. JA  2011..

Dalam jurnal ini membahas beberapa hasil penelitian namun tidak dijelaskan mengenai bagaimana pengambilan sampel, jumlah, kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini.
4
Hypertonic resuscitation modulates the inflammatory response in patients with traumatic hemorrhagic shock.
Bulger EM, Cuschieri J, Warner K, et al.. 2007
36 pasien dengan kriteria inklusi dan ekslusi pasien setiap studi meliputi : pasien yang mengalami trauma usia ≥18 tahun, pra-rumah sakit sistolik tekanan darah < 90 mmHg, dan perubahan status mental (GCS <15) dalam pra-rumah sakit. Kriteria eksklusi meliputi : usia <18 tahun, pasien hamil, CPR sedang berlangsung.
Tabel 1. Sampel Penelitian

pasca kejadian). Resusitasi dengan HSD menunjukkan penundaan sementara ekspresi PMN,CD11b dan restorasi sebagian pada fenotipe monosit setelah injury dalam kurun waktu yang lebih awal. Supresi signifikan pada respon sirkulasi monosit pada LPS muncul pada 12 jam pasca injury dan sebagian dipulihkan oleh terapi HSD saat waktu reperfusi.
Satu lagi jurnal yang dari Bulger (2011)7.5% Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic Shockbahwa Penelitian ini merupakan randomize controlled trial dimana dilaksanakan uji coba terhadap 250 cc 7.5% saline (hypertonic), 7.5% saline/6% dextran-70 (HSD), or 0.9% saline (NS) sebagai cairan awal di setting prehospital untuk keadaan severe traumatic injury dengan keberadaan hipovolemic shock atau TBI. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ditemukan keuntungan yang signifikan dalam penggunaan cairan hipertonik dibandingkan resusitasi dengan cairan kristaloid.
Nata (2011) dari enam penelitiannya yang melibatkan 719 pasien yang disebar diantaranya HS (340 pasien) dengan standar perawatan (379 pasien), ada sebuah pengaruh yang berarti dalam melaksanakan kelangsungan hidupnya sebanyak 0,6%, tidak ada perbedaan yang menonjol antara pengobatan kelompok (p= 0,919). Saat gabungan cairan HSD telah dievaluasi di 615 pasien dibandingkan dengan SOC di 618 pasien ada peningkatan kelangsungan hidup sebanyak 3,6%.
HSD yang diujikan oleh Eileen M. Bulger et al. (2011) menunjukan bahwa dari sample yang diambil sebanyak 229 pasien dengan  pra hipotensi secara acak yang menggunakan 250 cc 7,5% saline tanpa dextran versus ringer laktat  sebagai solusi  awal pra resusitasi cairan. Selain itu, Eillen menganalisa juga mengenai perbandingan demografis, tingkat keparahan cedera dan hasil klinis data antara kelompok-kelompok pasien dinilai menggunakan tes X2 untuk  variabel kategori dan t-tes mahasiswa untuk variabel terus-menerus,. Perbandingan data laboratorium antara kelompok-kelompok pengobatan dilakukan menggunakan ANOVA dengan koreksi Bonferroni menggunakan perangkat lunak statistik, STATA (Stata Inc, College Station, TX). Signifikansi dianggap sebagai P < 0,05.

Hasil Kajian
Keefektifan HSS dan HSD cukup tinggi dimana dapat berhasil dalam meningkatkan survival pasien dalam berbagai kondisi tertentu. Hanya terdapat satu penelitian dimana keefektifan HSS dan HDS dibanding RL tidak signifikan dan cenderung sama. HSS dan HSD memiliki hasil yang cukup baik dalam penatalaksanan syok hipovolemik dan traumatic injury lainnya. Beberapa keadaan yang ideal untuk penggunana HSS dan HSD adalah syok hipovolemik, traumatic brain injury, gastric dilatation-volvulus, dan luka bakar. HSS dan HSD tidak dianjurkan untuk digunakan pada keadaan syok hipovolemik tak terkontrol dan pancreatitis akut.

Pembahasan
Kasus kecelakaan di Indonesia tahun 2003 tercatat 24.692 dengan korban meninggal 9. 856 jiwa Kasus kecelakaan lalu lintas umumnya sangat rentan mengalami trauma atau fraktur. Kondisi kegawatdaruratan yang perlu diantisipasi adalah kejadian syok hipovolemik yang merupakan efek langsung dari perdarahan yang mengakibatkan tubuh kekurangan volume darah (syok hemoragik)
Resusitasi cairan adalah kawasan yang menantang bagi praktik keperawatan, khususnya pada pasien dengan syok hipovolemik. Penggunaan cairan yang tepat dalam penanganan syok hipovolemik mulai banyak dikembangkan dan diuji. Pemberian terapi cairan secara tepat dapat meningkatkan survival pasien dan menimalkan risiko komplikasi terhadap pasien.
Jenis resusitasi cairan ideal untuk shock hipovolemik adalah yang dapat meningkatkan volume intravaskuler dan meningkatkan tekanan arteri rata-rata (MAP / Mean Arterial Pressure), cardiac output (CO), dan perfusi.  Pemberian cairan ini lebih efektif bila dimasukan dengan volume kecil dan cepat serta memiliki efek terus menerus pada keseimbangan kardiovaskuler setelah pemberian awal. Selain itu, harus pula diberikan pada semua kondisi klien tanpa menyebabkan komplikasi.
          Hypertonic salin solution atau cairan salin hipertonik (HSS) adalah jenis cairan kristaloid dengan konsentrasi sodium dan choride dan osmolalitas yang melebihi plasma normal. HSS tidak mengandung potassium, kalsium, magnesium, dekstros atau buffer dan tidak memiliki efek pada tekanan osmotic koloid. HSS tersedia dalam cairan NaCl 7%, 7.2%, dan 23%.
          HSS memiliki keistimewaan dibanding larutan kristaloid lainnya karena kemampuan ekspansi volume intravaskuler dengan pemberian cairan jumlah kecil. Kemampuan ini dikarenakan oleh konsentrasi natrium yang tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi osmolalitas plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari interstitial ke intravaskuler dan terjadilah keseimbangan.
Aplikasi utama HSS adalah dalam mengontrol shock hemoragic. Volume yang dimasukan sama dengan 10% kehilangan darah (4mL/kg) secara cepat memulihkan MAP dan CO pada nilai dasar.  HSD juga efektif diberikan pada keadaan shock septic. Pada keadaan traumatic brain injury, dimana sebagain pasien menunjukkan keadaan syok, pemberian kristaloid secara agresif dapat meningkatkan ICP (intracranial pressure) dan berdampak pada keadaan memburuknya brain injury. HSS dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dan mengurangi ICP dengan mendorong cairan dari ruang ekstravaskuler. Dengan penggunaan HSD, survival pasien dua kali lipat dibanding penggunaan RL. Pada keadaan luka bakar, HSS dinilai cukup efektif dalam jumlah yang lebih kecil untuk meminimalkan edema dan meningkatkan peluang survival. Pada keadaan gastric dilatation­­­­-volvulus (GDV), yaitu kondisi obstructive, syok nonkardiogenic dimana pembeluh darah di abdomen berdilatasi dan menurunkan vena balik sehingga darah menetap pada otot, system portal, dan organ spleen. HSD dapat digunakan dan lebih efektif dibanding cairan kristaloid.
Berbagai penelitian menunjukkan keefektifan pemberian HSS dibandingkan dengan cairan RL dalam meningkatkan ekspansi volume plasma. Peniingkatan volume plasma sekitar 30-40% dari volume darah total. Ekspansi volume plasma tercepat setelah dimasukan (0 menit) dan kemudian mencapai keseimbangan dengan cairan kompartemen ekstraseluler untuk mencapai ekspansi minimal dealam 1 hingga 3 jam. HSS dikombinasikan dengan 6% dextran 70 (Hypertonic Saline Solution Combined with Dextran 6% 70 / HSD) mengalami kenaikan volume plasma tercepat, yang mana dapat bertahan hingga 3 jam kemudian.
          Penggunaan HSS dapat meningkatkan fungsi kardiovaskuler dengan cepat yaitu meningkatkan CO, MAP, kontraktilitas dan aliran balik bena serta reduksis resistensi perifer (PVR). Pengoptimalan fungsi kardiovaskuler ini disebabkan oleh keefketifan ekspansi volume plasma oleh HSS.
          Syok hipovolemik mengakibatkan reduksi volume sirkulasi darah sehingga terjadi vasokontriksi dan membatasi aliran darah ke area nonvital. Reduksi aliran darah mengakibatkan pembesaran sel endothelial sehingga  lumen pembuluh darah semakin sempit. Efek microvaskuler HSD selama periode iskemik adalah meningkatkan aliran darah regional dengan mempertahankan pembesaran sel endotheliat sehingga aliran darah difokuskan pada organ vital. HSS dapat meningkatkan aliran darah ke spleen sehingga dapat mencegah iskemia dan mencegah translokasi bakeri.
          Pasien dengan syok hemoragic berefek pada system imun yang meningkatkan risiko translokasi bakteri dan sepsis karena iskemia. Pada kondisi tersebut, system pertahanan tubuh akan menurunkan aktivitas fagositosisnya sehingga berdampak pada penurunan system imun dan meningkatkan risiko infeksi. Dengan pemberian cairan HSS, mencegah penekanan aktivitas system imun dalam keadaan syok sehingga risiko infeksi tetap dapat dihindari.
HSD dalam mengatasi trauma organ dan imuno supresi setelah trauma berat. Dimana HSD menarik neutrofil dan monosit dalam respon inflamasi awal, dengan mengurangi terjadinya trauma organ, resiko terjadinya infeksi nosokomial dan kegagalan organ. Supresi signifikan pada respon sirkulasi monosit pada LPS muncul pada 12 jam pasca injury dan sebagian dipulihkan oleh terapi HSD saat waktu reperfusi.
Aplikasi pemberian HSS dalam menangani syok hipovolemik yang tidak terkontrol (uncontrolled hemorrhagic shock / UCHS) adalah dapat meningkatkan perdarahan, menurunkan MAP dan mengarah pada mortalitas lebih cepat dibanding penggunaan cairan kristaloid. HSS harus dikontraindikasi pada kasus UCHS karena dapat meningkatkan perdarahan dan kematian. Pada keadaan pancreatitis akut, efektifitas dan keamanan HSS perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
          Efek pemberian HSS harus dimonitoring kondisi elektrolit dan osmolalitasnya dikarenakan oleh perpindahan mayor sodium dan cairan melalui cairan kompartemen. HSS dikontraindikasi pada klien dengan kondisi hipernatrimia, hiperosmolalitas, hipercloremia atau hipokalemia. Pada kondisi dehidrasi, penggunaan HSS dapat meningkatkan keadaan dehidrasi. Pada klien dengan koagulasi klinis, trombositopenia, atau disfungsi platelet yang mengarahkan pada pemanjangan waktu pembekuan sehingga tidak dianjurkan penggunaan HSS.
           
IMPLIKASI DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN
Perawat bertanggung jawab atas administrasi pemberian  resusitasi cairan,  yang meliputi penggunaan jenis cairan yang tepat untuk mengatasi kehilangan cairan (syok hipovolemik) pada pasien kritis maupun kondisi kegawatdaruratan. Meskipun berkaitan dengan cairan bukan merupakan ranah keperawatan, namun menurut Teori Maslow tentang kebutuhan  fisiologis, dimana manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya seperti kebutuhan akan oksigen, makanan, cairan, dan suhu serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Sehingga bahasan tentang cairan merupakan hal yang penting dalam keperawatan, selain itu penangannya dapat berkolaborasi dengan dokter.
Berdasarkan pengamatan beberapa studi dalam makalah ini menunjukkan bahwa penggunaan cairan HSD (Hipersaline Dextran yaitu 7,5% saline dalam 6% dextran 70) merupakan resusitasi cairan yang dapat menjadi alternatif pemberian cairan pada pasien dengan syok hipovolemik. Dengan menggunakan HSD memungkinkan perawat dan para profesional lain untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami syok hipovolemik sebagai peningkatan angka survival pasien dan pencegahan timbulnya komplikasi berupa kegagalan organ.

KESIMPULAN
Hypertonic Saline Dextran (HSD) adalah 6% dekstran 70 yang merupakan koloid hiperonkotik dengan NaCl 7,5% sebagai cairan resusitasi alternatif untuk mengatasi syok hipovolemik. Dosis efektif HSD yang diberikan yaitu 250 ml. HSD tidak terlalu mempengaruhi PPT, APTT, agregasi trombosit.
Cairan HSD yang diuji dalam studi ini dapat mengatasi terjadinya syok hipovolemik, sehingga dapat meningkatkan survival pasien dan mencegah terjadinya kegagalan organ akibat trauma seperti pada pasien dengan cedera kepala, luka bakar, gastric dilatation volvulus, pasien dengan hipotensi (hipotensi akibat pembedahan, penyempitan aorta, pasien yang sedang dialisa, perdarahan ulserasi lambung, atau peningkatan tekanan intra kranial), dan imuno supresi setelah trauma berat. Cairan HSD telah terbukti mengatasi syok hipovolemik pada berbagai pasien dengan kondisi kegawatdaruratan dan kritis.

SARAN PENELITIAN
          Berdasarkan penjelasan beberapa studi pada jurnal ini, yang membahas tentang penggunaan cairan HSD pada pasien dengan kegawatdaruratan dan kritis, disarankan untuk perawat agar perawat mengetahui cara penanganan pasien dengan syok hipovolemik, serta kondisi pasien apa saja yang dapat mengalami syok hipovolemik. Selain itu, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit untuk pengadaan cairan HSD dalam penanganan pasien dengan syok hipovolemik. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang efektifitas penggunaan cairan HSD di Indonesia, mengingat penyediaan cairan HSD yang masih terbatas.

DAFTAR PUSTAKA
Adelmen, R.D., Solhaug, M.J. 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. In: Behrman
Bulger EM, Cuschieri J, Warner K, et al. 2007. Hypertonic resuscitation modulates the inflammatory response in patients with traumatic hemorrhagic shock. [PubMed: 17414614]
Cooper DJ, Myles PS, McDermott FT, et al. .2004. Prehospital hypertonic saline resuscitation of patients with hypotension and severe traumatic brain injury: a randomized controlled trial.
Corr, P.J., & Matthews, G. 2009. The Cambridge Handbook of Personality Psychology. New York: Cambridge University Press
Eileen M. Bulger, MD, FACS. 2011. 7.5% Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic Shock. University of Washington, Harborview Medical Center.
Holcroft JW, Vassar MJ, Perry CA, et al. 1989. Use of a 7.5% NaCl/6% Dextran 70 solution in the resuscitation of injured patients in the emergency room. [PubMed: 2471213]
Keys and Johnson. 2011. Hypertonic Saline Solution in Shock Resusitation. East Greenwich, Rhode Island
Nata (Network for Advancement of Transfusion Alternatives). 2012. Hypertonic Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries.
Wade CE, Kramer GC, Grady JJ, et al. 1997. Efficacy of hypertonic 7.5% saline and 6% dextran-70 in treating trauma: a meta-analysis of controlled clinical studies. [PubMed: 9308620



Tidak ada komentar:

Posting Komentar