HIPERSALINE
DEXTRAN (7,5% SALINE WITH 6% DEXTRAN-70) FOR HYPOVOLEMIC SHOCK
REVIEW
ABSTRACT
Research
in the small scope has been done to validate the use of fluid resuscitation for
hypovolemic shock treatment. Fluid resuscitation is an important action for nursing
practice, particularly in patients with hypovolemic shock. Proper use of fluids
in hypovolemic shock treatment from many developed and tested.
This
paper aims to review the use of fluids used to treat hypovolemic shock to
determine whether the use of liquid Hipersaline dextran (HSD 7.5% saline in 6%
dextran 70) can be an alternative in patients with emergency and critical
condition.
In
this paper a systematic review of studies that tested the four journals on the
use of HSD in patients with fluid and critical emergency. This paper identified
through CEArticle, NIH-PA, original articles, and NATA by using search terms:
"'Hypovolemic Shock', Saline (NaCl) and 'Hipersaline dextran'".
Journal
observed in this paper is a prospective experimental study using blinded
randomized control tria) and meta-analysis. The samples taken in the immediate
occurrence of the accident, while in a vehicle (ambulance or helikcopter) and
in the emergency room (ER). The study sample of patients with trauma ditatanan
prarumah pain, hypotension (SBP <80-100), hypovolemic shock, patients
require blood transfusions or surgical intervention, patients with early signs
of ≥ 108 pulse / min and GCS ≤ 8, patients with the standard of care ( standard
of care / SOC), severe head trauma. Samples with the inclusion criteria of
trauma patients aged ≥ 18 years, systolic <90 mmHg, and changes in mental
status (GCS <15) in pre-hospital. Exclusion criteria are age <18 years
old, pregnant patients, CPR in progress. Given the study sample is then evaluated
the effectiveness of fluid resuscitation fluid resuscitation based on how well
the development of a client state of the blood pressure, and the safety of
research subjects.
HSD
fluids tested in this study could address the occurrence of hypovolemic shock,
so that patients can improve survival and prevent the occurrence of organ
failure after trauma.
The
use of liquid HSD in patients with emergency and critical, it is advisable for
nurses to nurse knows how to handle patients with hypovolemic shock, as well as
what the patient's condition may have hypovolemic shock. Also, it can be input
to a hospital for the procurement of HSD fluid in the treatment of patients
with hypovolemic shock. For further research, it is advisable to conduct
further research on the effectiveness of using liquid HSD in Indonesia, given
the fluid supply HSD is still limited.
Key words: Hypovolemic Shock, Saline
(NaCl), Hipersaline dextran (HSD)
ABSTRAK
Penelitian dalam lingkup kecil telah dilakukan untuk
memvalidasi resusitasi cairan yang digunakan untuk penanganan syok hipovolemik.
Resusitasi cairan adalah tindakan yang penting bagi praktik keperawatan,
khususnya pada pasien dengan syok hipovolemik. Penggunaan cairan yang tepat
dalam penanganan syok hipovolemik mulai banyak dikembangkan dan diuji.
Makalah ini bertujuan untuk meninjau mengenai penggunaan
cairan yang digunakan untuk mengatasi syok hipovolemik untuk menentukan apakah
penggunaan cairan Hipersaline Dextran (HSD yaitu 7,5% saline dalam 6% Dextran
70) dapat menjadi alternatif pada pasien
dengan kondisi kegawatdaruratan dan kritis.
Dalam makalah ini meninjau secara sistematis empat jurnal
penelitian yang menguji tentang penggunaan cairan HSD pada pasien dengan
kegawatdaruratan dan kritis. Makalah ini diidentifikasi melalui CEArticle,
NIH-PA, original articles, dan NATA
dengan menggunakan istilah pencarian: " ‘Hypovolemic Shock’, Saline (NaCl)
and ‘Hipersaline Dextran’ ”. Jurnal
yang diamati dalam makalah ini merupakan penelitian prospective eksperimental dengan menggunakan metode blinded randomized control tria) dan meta
analisis. Sampel penelitian di ambil di tempat langsung terjadinya
kecelakaan, saat di kendaraan (ambulans atau helikcopter) dan di UGD (Unit
Gawat Darurat). Sampel penelitian yaitu pasien dengan trauma ditatanan prarumah
sakit, hipotensi (SBP < 80-100), syok
hipovolemik, pasien memerlukan transfusi darah atau intervensi bedah, pasien
dengan tanda awal nadi ≥ 108 x/menit dan GCS ≤ 8, pasien dengan standar
perawatan (standard of care/SOC), trauma kepala berat. Sampel dengan kriteria inklusi yaitu pasien trauma usia ≥18
tahun, sistolik < 90 mmHg, dan perubahan status mental (GCS <15) dalam
pra-rumah sakit. Kriteria eksklusi yaitu usia <18 tahun, pasien hamil, CPR
sedang berlangsung. Sampel penelitian diberikan resusitasi cairan kemudian
dievaluasi kefektifan resusitasi cairan berdasarkan bagaimana perkembangan
kondisi klien baik dari tekanan darah, dan tingkat keselamatan subjek
penelitian.
Cairan HSD yang diuji dalam studi ini dapat mengatasi
terjadinya syok hipovolemik, sehingga dapat meningkatkan survival pasien dan mencegah terjadinya kegagalan organ akibat
trauma.
Penggunaan
cairan HSD pada pasien dengan kegawatdaruratan dan kritis, disarankan untuk
perawat agar perawat mengetahui cara penanganan pasien dengan syok hipovolemik,
serta kondisi pasien apa saja yang dapat mengalami syok hipovolemik. Selain
itu, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit untuk pengadaan cairan HSD dalam
penanganan pasien dengan syok hipovolemik. Bagi peneliti selanjutnya,
disarankan untuk melakukan
penelitian lanjutan tentang efektifitas penggunaan cairan HSD di Indonesia,
mengingat penyediaan cairan HSD yang masih terbatas.
Kata kunci: Syok hipovolemik, Saline (NaCl), Hipersalin
Dextran (HSD)
PENDAHULUAN
Kehilangan
cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat
berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari
masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu
pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna.
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta
kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan
abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan
masukkan cairan atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan
berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap
berlangsung secara normal.
Cara
pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan secara
oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan
diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula
diberikan secara intravena. Dalam
pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena pada bayi dan anak yang sakit
perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama
pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik lainnya
karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangan sistem
pengaturan air dan elektrolit.
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah
dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan
berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok haemoragik).
Kehilangan
darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal
yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok
hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara
signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua
penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ
padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat
merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua
contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain
gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
LATAR
BELAKANG
Banyak
cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang
berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok
hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi
cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid
dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien
yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam
menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting
pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang
sangat besar. Jumlah penduduk Indonesia pada 31 Desember 2010 mencapai
259.940.857. Jumlah penduduk yang padat dengan kemajuan IPTEK merupakan salah
satu faktor Indonesia mengalami kecenderungan terhadap situasi
kegawatdaruratan. Kasus kecelakaan di Indonesia tahun 2003 tercatat 24.692
dengan korban meninggal 9. 856 jiwa (Profil Kesehatan Indonesia).
Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan perawat di beberapa ruang intensif dan
ruang gawat darurat di RSUP Dr. Hasan Sadikin bahwa penanganan resusitasi
cairan pada syok hipovolemik dan syok hemoragik yang dilakukan adalah dengan
pemberian dekstrose 5%, NaCl 0,9%, dan Ringer Laktat. Pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik dengan tekanan sistolik ≤ 80 mmHg diberikan therapi
NaCl 0,9 %.
Kasus
kecelakaan lalu lintas umumnya sangat rentan mengalami trauma atau fraktur.
Kondisi kegawatdaruratan yang perlu diantisipasi adalah kejadian syok
hipovolemik yang merupakan efek langsung dari perdarahan yang mengakibatkan
tubuh kekurangan volume darah (syok hemoragik).
Pada
awalnya untuk mengatasi syok hemoragik dilakukan resusitasi konvensional syok
hemoragik traumatik dengan menggunakan intravena isotonik (normal saline) atau
sedikit hipotonik (Ringer Laktat) dalam pengaturan kehilangan cairan pra-rumah
sakit. Meskipun tidak konklusif, penelitian yang dilakukan pada hewan dan
manusia menunjukkan bahwa resusitasi alternatif dengan salin hipertonik (7,5%)
dapat mengurangi angka kematian pada pasien. Hipertonik salin-dekstran (HSD)
(7,5% garam dengan 6% dextran-70) telah diteliti sebagai cairan resusitasi
alternatif pada pasien yang menderita luka parah, HSD menghasilkan peningkatan
tekanan osmotik serum, yang mengarah pada redistribusi cairan dari interstisial
ke ruang intravaskular. Redistribusi ini dapat menyebabkan pemulihan yang cepat
dari sirkulasi volume intravaskular dibandingkan dengan larutan kristaloid
isotonik atau hipotonik dan dapat mengakibatkan penurunan akumulasi volume
ekstravaskuler. Efek osmotik HSD telah terbukti mengurangi tekanan intrakranial
di otak pada pasien. Dengan demikian, kombinasi dari perfusi sistemik meningkat
sehingga dapat meningkatkan perfusi serebral. Penurunan tekanan intrakranial
dapat meminimalkan perkembangan cedera otak sekunder.
Studi terbaru menunjukkan dampak dari
larutan hipertonisitas pada pembatasan respon proinflamasi sirkulasi sel
inflamasi.
Dengan demikian, larutan hipertonik dapat memiliki efek menguntungkan tambahan
dengan modulasi respon immune inflammatory berlebihan setelah iskemia sistemik
atau cedera reperfusi.
Dekstran
awalnya ditambahkan pada larutan ini dalam upaya untuk memperpanjang efek
peredaran darah hipertonisitas. Namun penghapusan komponen dekstran dapat
meningkatkan efek anti-inflamasi dari larutan ini, yang dapat mengurangi risiko
komplikasi akhir setelah cedera.
Syok
Hipovolemik
Syok
yaitu hambatan di dalam peredaran darah perifer yang menyebabkan perfusi
jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat makanan dan membuang
sisa metabolisme (Theodore, 93), atau suatu perfusi jaringan yang kurang
sempurna.
Syok
Hipovolemik (Kekurangan volume ECF) didefinisikan sebagai kehilangan cairang
tubuh isotonic, yang disertai kekurangan natrium dan air dalam jumlah relatif
sama (Patofisiologis, Volume 1, Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson,
2006).
Kondisi-kondisi
yang menempatkan pasien pada risiko syok hipovolemik yaitu kehilangan cairan
eksternal seperti trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare, diuresis, dan
diabetes insipidus; Perpindahan cairan internal hemoragi internal, luka bakar,
asites, dan peritonitis.
Stadium
Syok dibagi menjadi 3 yaitu Stadium Kompensasi degan cirri-ciri:
MAP menurun 10-15 mmHg; mekanisme kimia dan ginjal diaktifkan;
pelepasan renin, ADH, aldosteron, katekolamin mengakibatkan GFR menurun dan
urine output menurun, reabsorbsi Na meningkat-vasokonstriksi sistemik; dan
hipotensi jaringan organ non vital dan ginjal. Stadium intermediate
memiliki tanda dan gejala: MAP menurun lebih dari 20 mmHg; kompensasi tak
begitu lama untuk menyuplai oksigen; hipoksia organ vital, organ lain mengalami
anoxia, iskemik yang selanjutnya menyebabkan sel-sel jaringan rusak dan dapat
mengancam jiwa; dan koreksi dalam 1 jam (golden
hour). Stadium Irreversible, dengan tanda: anoxia jaringan dan
kematian sel meningkat; sel tersisa metabolisme anaerob; dan terapi tidak
efektif .
Ada 4 tahapan Syok Hipovolemik. (1). Tahap
1: Kehilangan darah hingga 15% volume (750ml), RR normal, kepucatan dari kulit
, dedikit kegelisahan. (2). Tahap 2: 15-30% volume darah hilang (750 - 1500ml),
RR meningkat, meningkatkan tekanan diastolic, denyut nadi lemah, agak kuatir
atua Restless. (3). Tahap 3: 30-40%
volume kehilangan darah (1500 - 2000ml), BP 100 mmHg atau kurang, tanda-tanda
klasik hypovolemic shock yaitu
tachycardia> 120 bpm dan tachypnoea> 30 bpm, penurunan tekanan sistolik,
perubahan dalam status mental (Anxiety,
Agitation), dan berkeringat dingin, kulit pucat. (4). Tahap 4: kerugian
lebih besar dari 40% (> 2000ml), ekstrim tachycardia dengan nadi lemah, pronounced tachypnoea, sistolik tekanan
darah sebesar 70 mmHg atau kurang, penurunan tingkat kesadaran, kulit
berkeringat dan sangat pucat.
Pada penderita yang
mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya
tanda-tanda dehidrasi seperti: turunnya turgor jaringan; mengentalnya sekresi
oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta bola mata cekung. Pada
keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera
kembali dalam beberapa menit, penting untuk mengenali tanda-tanda syok,
seperti: Kulit dingin, pucat, takhikardia, hipotensi, dan oliguria (produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30
ml/jam atau 400 cc/jam).
Salah
satu penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu untuk mengatasi fluid
volume deficit yaitu dengan
cara terapi intravena: (1) Ringer laktat dan natrium klorida 0,9%. Keduanya merupakan kristaloid, adalah dua
cairan isotonic yang umumnya digunakan dalam mengatasi syok hipovolemik (Imm
& Carlson, 1993), harus diberikan cairan dalam jumlah yang besar untuk
memulihkan volume intravaskuler karena larutan kristaloid isotonik berpindah
dengan bebas antara kompartemen cairan tubuh dan tidak tinggal dalam system
vaskular. (2) Koloid
yaitu albumin, WB, PRC,
dan plasma
(plasmanat, dekstran 6%) kini banyak digunakan. (untuk
mengembalikan volume plasma dan tekanan osmotik).
Cairan
Hipersaline Dextran
Larutan hipertonik intravena telah ada selama
bertahun-tahun dalam bentuk larutan natrium klorida dengan konsentrasi antara
2,5% sampai 10%. Saat ini telah mengalami kemajuan mengenai larutan koloid yang
bertujuan sebagai plasma ekspander, telah dikembangkan dari protein suhu
sensitif ke polisakarida molekul besar. Kemajuan yang lebih baru lagi yaitu
kombinasi dari kedua jenis larutan menjadi larutan hipertonik koloid dengan
volume yang kecil. Larutan ini adalah kombinasi 7,5% natrium klorida (NaCl)
dengan 6% dekstran 70 atau sering disebut Hypertonic Saline Dextran (HSD). HSD
ini biasanya dikemas dalam 250 ml.
Kombinasi Dekstran 70, yang merupakan koloid
hiperonkotik, dengan NaCl 7,5% akan mempertahankan volume vaskuler. Larutan
hipertonik salin 7,5% dan dekstran 70 6% ini telah diteliti sebagai cairan
resusitasi alternatif untuk pasien yang mengalami luka parah. Larutan ini dapat meningkatkan tekanan osmotik serum yang
dapat memindahkan cairan dari interstisial ke ruang intravaskuler. Efek osmotik
larutan HSD ini telah terbukti dapat mengurangi tekanan intrakranial,
meningkatkan perfusi sistemik dan serebral, dan mungkin terhadap pengaturan
respon inflamasi pada pasien iskemia.
Dosis yang dianjurkan tidak melihatberat bedan pasien.
Dalam sebagian besar studi yang tersedia larutan hipertonik diberikan dalam
waktu 2 jam setelah trauma. Oleh karena itu, dianjurkan bahwa solusi salin
hipertonik menjadi cairan awal diberikan pada resusitasi pasien dengan
hipotensi dan cedera traumatis.
Dikatakan bahwa 250 ml HSD setara dengan 2-3 liter
larutan isotonik seperti Ringer Laktat (RL) yang dapat meningkatkan volume
darah pada pasien hipovolemik. Saat ini,
protokol pra rumah sakit dari Canadian
Forces (CF) memberikan dosis pasien 20 ml/kg isotonik (Normal Saline 0,9%
atau Ringer Laktat) ke dalam bolus untuk mengembalikan tekanan darah sistemik
sampai 80 mmHg. Biasanya dibutuhkan 2-4 liter cairan untuk mempertahankan
tekanan darah. Dengan HSD, 250 ml diberikan sudah cukup efektif. Jika tekanan
darah sistemik tidak naik sampai 80 mmHg setelah 60 menit, 250 ml HSD kedua
dapat diberikan. Setelah HSD diberikan, larutan isotonik dapat diberikan.
NaCl dan dekstran akan diekskresi melalui ginjal,
meskipun dekstran juga dapat dikeluarkan oleh saluran pencernaan setelah
dimetabolisme. Dekstran 70 didegradasi menjadi glukosa oleh dekstranase di
limpa dan kemudian dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air. Setelah 24
jam, 30% dekstran tersisa dalam plasma darah untuk dibuang pada beberapa hari
berikutnya. Konsentrasi NaCl yang tinggi dalam darah merupakan stimulus untuk
sistem umpan balik dari reseptor di otak din arteri. Peningkatan kadar Na
memicu atrial natriuretic peptide (ANP) yang meningkatkan absorpsi dan
eliminasi oleh ginjal. Dalam studi sebelumnya dikatakan bahwa konsentrasi
tinggi dari 7,5% saline akan memperpanjang prothrombin time (PT) dan mengurangi
agregasi trombosit. Melihat ekspansi volume plasma yang
cepat setelah infus HSD, dilakukan penelitian dengan hipotesis bahwa efek HS
terhadap koagulasi tidak memiliki signifikan klinis ketika HSD dilakukan untuk
terapi hipotensi hemoragik.HSD tidak terlalu mempengaruhi PPT, APTT, agregasi
trombosit.
Komponen HSD ini salah satunya adalah salin
hipertonik yang dapat mengembalikan hemodinamik sentral, menormalkan
mikrosirkulasi yang rusak, menekan kebutuhan cairan, dan menawarkan
perlindungan pada miokardium yang mengikuti trauma dan luka bakar. Larutan
hipertonik bekerja secara osmotik, menarik air, terutama cairan seluler, tanpa
efek berlawanan dari hipernatremia yang ditunjukkan oleh pasien-pasien trauma
yang diresusitasi dengan 4 mL/kg NaCl 7,5%. Salin hipertonik juga menjaga fungsi
miokardium dan mempertahankan sistem imun kompeten. Studi eksperimental dalam
menangani sepsis telah menunjukkan peran salin hipertonik sebagai resusitasi
memilki kemampuan untuk mengubah efek volue-sparing ke efek protektifnya pada
sistem imun dan miokardium.
Komponen lain dari HSD adalah dekstran 70. Dekstran
70 adalah glukan, polisakarida yang terbentuk dari molekul glukosa. Molekul
dekstran 70 (berat molekul 70.000) mempunyai partikel tambahan untuk
meningkatkan jumlah cairan dan efek osmotik koloid. Dibandingkan dengan
masuknya cairan osmotik yang disebabkan oleh NaCl, infus dekstran memperluas
volume yang sedikit lebih lebih dari volume (1 mOsm / L). Bahkan penelitian
telah menunjukkan bahwa meskipun menambahkan 6g/L dekstran, volume konsentrasi
plasma turun sampai 5 g/L. Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat
molekul dekstran telah terikat baik dengan protein dalam plasma atau sudah
mulai dimetabolisme.
Cairan kristaloid dapat mengganti dan mempertahankan volume
cairan ekstraselular. Oleh karena itu, 75-80% cairan kristaloid yang diberikan
secara IV menuju ruang ekstravaskular dalam satu jam (dengan waktu paruh 20-30
menit), maka cairan kristaloid sangat diperlukan untuk rehidrasi interstisial. Di
dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi
(Dextran 70 denggan berat molekul 60.000-70.000 dengan aktivitas osmotic yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam
ruang intravaskuler.
METODE
PENELITIAN
Masing-masing dari empat penelitian bertujuan untuk
menguji keefektifan penggunana hipertonik salin-dekstran (HSD) (7,5% garam dengan 6%
dextran-70) untuk penanganan syok hipovolemik. Pada makalah ini akan dibahas mengenai keefektifan
penggunaan HSD dalam penanganan syok hipovolemik di prarumah sakit dan
rumah sakit, efek dari penggunaannya pada berbagai kasus penyakit sampai pengaruh
resusitasi (HSD) pada respon kekebalan tubuh bawaan setelah cedera. Hal ini bertujuan untuk membuktikan hipertonik salin-dekstran (HSD) (7,5% garam dengan 6%
dextran-70) tepat untuk digunakan
pada praktek klinis kegawatdaruratan maupun pasien kritis akibat syok
hipovolemik.
Artikel review ini disusun berdasarkan pencarian data
berasal dari jurnal CEArticle, NIH-PA, original articles,dan NATA yang berisi tentang bagaimana larutan
hipertonik salin dekstran dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien syok
hemoragik, syok hipovolemik, dan dapat mengurangi cedera setelah trauma berat.
Rancangan
Penelitian
Tiga dari empat studi yang diamati pada makalah ini
merupakan artikel review. Dengan membahas hasil penelitian dengan referensi
dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Jurnal yang diamati dalam makalah ini
merupakan penelitian prospective
eksperimental dengan menggunakan metode blinded randomized control tria) dan meta analisis (Bulger EM,
2011).
Penelitian ini menggunakan formulasi
cairan HS (7.5% NaCl) dan HSD (7.5% NaCl in 6% Dextran 70). Pasien di tempat
langsung terjadinya kecelakaan, saat di kendaraan (ambulans atau helikopter)
dan di UGD (Unit Gawat Darurat). sampel penelitian ditentukan secara acak dan
diberikan cairan resusitasi secara blinded dan kemudian dievaluasi kefektifan
resusitasi cairan berdasarkan bagaimana perkembangan kondisi klien baik dari
tekanan darah, dan tingkat keselamatan subjek penelitian (Bulger EM, dan
Jennifer 2011).
Pada jurnal Hypertonic Saline
Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries.
2012. menjelaskan hasil penelitian eksperimental dan meta analisis, (Wade C,
Grady J, Kramer G. 1997)
Pada
penelitian Eileen M Bulger,et al. dalam Hypertonic Resuscitation Modulates the
Inflammatory Response in Patients With Traumatic Hemorrhagic Shock.(2007). menggunakan
metode prospective, randomized controlled, ,double blinded trial. Dengan
pasien yang berbasis pada penilaian dokter dipilih untuk penelitian
laboratorium diharapkan bertahan >48 jam. Sampel darah Serial diperoleh untuk
pasien. Sampel pertama diambil dalam waktu 12 jam kedatangan, dan sampel
berikutnya diambil pada 24 jam, 72 jam dan 7 hari setelah cedera.
Penelitian ini disetujui oleh University of Institutional Review Washington
Dewan untuk penelitian yang melibatkan subyek manusia. Tiga puluh mililiter
darah ditarik ke dalam jarum suntik dilapisi dengan natrium sitrat. PMN dan
darah perifer sel mononuklear (PBMC) kemudian diisolasi dengan menggunakan Ficoll Paque density centrifugation. PMN
kemudian dinilai menggunakan uji nitro-blue
tetrazolium.
Sampel
Penelitian
Masing-masing dari studi dalam makalah menggambarkan
populasi pasien berasal baik dari prarumah sakit maupun rumah sakit.
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode blinded randomized control trial . Metode terkontrol secara acak (randomized controlled trial) ini paling
sederhana tapi luar biasa karena kelompok subjek penelitian ditentukan secara
acak, sehingga akan diperoleh kesetaraan kelompok yang berada dalam batas-batas
fluktuasi acak. Selain pengacakan para peneliti menggabungkan strategi
metodologi lain yaitu blinded yang
bertujuan untuk mengurangi risiko bias, satu di mana sekelompok individu yang
terlibat dalam uji coba tidak tahu intervensi mana diberikan kepada subjek yang
mana.
Tiga dari makalah penelitian juga menyertakan kriteria
inklusi dan eksklusi untuk pasien yang dapat dilibatkan dalam penelitiannya.
Selain kriteria inklusi dan eksklusi, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai strategi peneliti pada tiap studi
untuk prosedur seleksi pasien. Tidak jelas apakah semua pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi selama masa studi dimasukkan atau tidak.
Analisis
Data
Keys
and Johnson (2011) dalam jurnalnya
yang berjudul “Hypertonic
Saline Solution in Shock Resusitation”, menyebutkan bahwa anjuran dosis yang untuk penggunaan HSS
adalah 2,5 – 5 mL/kg dan kecepatan < 1 mL/kgBB/menit. Untuk
penggunaan HSD, dosisnya 2-6 mL/kg atau dapat pula dikombinasikan dengan
criteria : 2-6 mL/kg (NaCL 7%) + 4-6 / kg (Dekstra 70). HSS dan HSD aman untuk digunakan pada
kondisi syok hipovolemik, traumatic brain
injury, gastric dilatation-volvulus,
dan luka bakar.
Sedangkan Nata (2010) dalam jurnalnya “Hypertonic
Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic Injuries” menyebutkan bahwa penelitian ini menggunakan
metode doubled blinded studies pada
pasien dengan hipotensi dan yang mengalami trauma, diantaranya yaitu pada
pasien dengan pembedahan, hipotensi akibat penyempitan aorta, pasien yang
sedang dialkukan dialysis, hipotensi akibat pendarahan ulserasi lambung, pasien
dengan luka bakar atau sepsis, peningkatan TIK (Tekanan Tinggi Intrakranial)
dan peningkatan aliran darah serebral melihat
perbaikan dalam kelangsungan hidup pasien yang mendapatkan terapi HS, terutama hypertonic saline dextran (HSD)
yaitu 7.5% NaCl in 6% Dextran 70. Hasil
menunjukkan adanya keuntungan yang baik pada pasien dengan pembedahan atau
pasien yang memiliki prognosis buruk.
Bulger,
et al (2007) dalam jurnalnya “Hypertonic
Resuscitation Modulates the Inflammatory Response
in Patients With Traumatic Hemorrhagic
Shock” bahwa
Metode
penelitian ini adalah prospektif, randomized dan double-blind trial pada
sekelompok pasien yang mengalami
shock hipovolemik dengan HSD (250 mL) dibandingkan dengan RL sebagai resusitasi
cairan awal yang diukur berdasarkan hasil sampel darah (12, 24, 72 jam dan 7
hari
No.
|
Jurnal&Penulis
|
Penelitian/Tahun
|
Sampel
|
1
|
7.5% Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic
Shock (Bulger,EM 2011)
|
Holcroft
et al., 1987
|
Pada
49 pasien trauma ditatanan prarumah sakit
|
Holcroft et al., 1989
|
Pada 32 pasien trauma yang hipotensi di tatanan rumah sakit (SBP <
80)
|
||
Vassar
et al., 1991
|
Pada
166 pasien trauma ditatanan prarumah sakit (SBP < 100)
|
||
Mattox et al., 1991
|
Pada 359 pasien trauma 72 % trauma
tusuk ditatanan prarumah sakit (SBP < 90)
|
||
Younes
et al., 1992
|
Pada
105 pasien syok hipovolemik di tatanan rumah sakit (SBP < 80)
|
||
Vassar et al., 1993
|
258 pasien trauma ditatanan prarumah
sakit (SBP < 90)
|
||
Vassar
et al., 1993
|
194
pasien trauma ditatanan prarumah sakit (SBP < 90)
|
||
Younes et al., 1997
|
212 pasien syok hipovolemik
ditatanan rumah sakit
|
||
Wade
et al. 1997
|
Pada
1395 pasien memerlukan transfusi darah atau intervensi bedah segera untuk
perdarahan dan 223 pasien hipotensi.
|
||
Brasel KJ, Bulger EM, Cook AJ, et
al. 2008
|
Sampel 894 pada tanda-tanda vital
awal dari SBP kurang dari 70 mmHg atau 70-90 mmHg dengan denyut jantung ≥ 108
denyut / menit dan GCS ≤ 8 pra-rumah sakit.
|
||
Bulger
EM, May S, Brasel KJ, et al. 2010
|
Pada 1327 pasien trauma kepala berat di tatanan
pra rumah sakit
|
||
2
|
Hypertonic
Saline Solutions for the Initial Treatment of Patients with Traumatic
Injuries
|
Wade C,
Grady J, Kramer G. 1997
|
719 pasien cedera traumatis diberi
HSD saja (340 pasien) dan 379 pasien dengan standar perawatan (standard of
care/SOC).
|
3
|
Hypertonic
Saline Solution in Shock Resusitation
|
Keys,J
and Johnson. JA 2011..
|
Dalam
jurnal ini membahas beberapa hasil penelitian namun tidak dijelaskan mengenai
bagaimana pengambilan sampel, jumlah, kriteria inklusi dan eksklusi dalam
penelitian ini.
|
4
|
Hypertonic resuscitation modulates
the inflammatory response in patients with traumatic hemorrhagic shock.
|
Bulger EM, Cuschieri J, Warner K, et
al.. 2007
|
36 pasien dengan kriteria inklusi dan ekslusi pasien setiap studi
meliputi : pasien yang mengalami trauma usia ≥18 tahun,
pra-rumah sakit sistolik tekanan darah < 90 mmHg, dan perubahan status
mental (GCS <15) dalam pra-rumah sakit. Kriteria eksklusi meliputi : usia
<18 tahun, pasien hamil, CPR sedang berlangsung.
|
Tabel 1. Sampel Penelitian
pasca
kejadian). Resusitasi dengan HSD menunjukkan
penundaan sementara ekspresi PMN,CD11b dan restorasi sebagian pada
fenotipe monosit setelah injury dalam kurun waktu yang lebih awal. Supresi
signifikan pada respon sirkulasi monosit pada LPS muncul pada 12 jam pasca
injury dan sebagian
dipulihkan oleh terapi HSD saat waktu reperfusi.
Satu lagi jurnal yang dari Bulger (2011) “7.5%
Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic Shock” bahwa Penelitian ini merupakan randomize controlled trial dimana
dilaksanakan uji coba terhadap 250 cc 7.5% saline (hypertonic), 7.5% saline/6%
dextran-70 (HSD), or 0.9% saline (NS) sebagai cairan awal di setting
prehospital untuk keadaan severe
traumatic injury dengan keberadaan hipovolemic shock atau TBI. Berdasarkan hasil penelitian, tidak
ditemukan keuntungan yang signifikan dalam penggunaan cairan hipertonik
dibandingkan resusitasi dengan cairan kristaloid.
Nata (2011) dari enam penelitiannya yang melibatkan 719
pasien yang disebar diantaranya HS (340 pasien) dengan standar perawatan (379
pasien), ada sebuah pengaruh yang berarti dalam melaksanakan kelangsungan
hidupnya sebanyak 0,6%, tidak ada perbedaan yang menonjol antara pengobatan
kelompok (p= 0,919). Saat gabungan cairan HSD telah dievaluasi di 615 pasien
dibandingkan dengan SOC di 618 pasien ada peningkatan kelangsungan hidup
sebanyak 3,6%.
HSD yang diujikan oleh Eileen M. Bulger et al. (2011) menunjukan
bahwa dari sample yang diambil sebanyak 229 pasien dengan pra hipotensi secara acak yang menggunakan
250 cc 7,5% saline tanpa dextran versus ringer laktat sebagai solusi awal pra resusitasi cairan. Selain itu, Eillen menganalisa juga mengenai perbandingan demografis,
tingkat keparahan cedera dan hasil klinis data antara kelompok-kelompok pasien
dinilai menggunakan tes X2 untuk
variabel kategori dan t-tes
mahasiswa untuk variabel terus-menerus,. Perbandingan data laboratorium antara
kelompok-kelompok pengobatan dilakukan menggunakan ANOVA dengan koreksi
Bonferroni menggunakan perangkat lunak statistik, STATA (Stata Inc, College
Station, TX). Signifikansi dianggap sebagai P < 0,05.
Hasil
Kajian
Keefektifan
HSS dan HSD cukup tinggi dimana dapat berhasil dalam meningkatkan survival pasien dalam berbagai kondisi
tertentu. Hanya terdapat satu penelitian dimana keefektifan HSS dan HDS
dibanding RL tidak signifikan dan cenderung sama. HSS dan HSD memiliki hasil
yang cukup baik dalam penatalaksanan syok hipovolemik dan traumatic injury lainnya. Beberapa keadaan yang ideal untuk
penggunana HSS dan HSD adalah syok hipovolemik, traumatic brain injury, gastric
dilatation-volvulus, dan luka bakar. HSS dan HSD tidak dianjurkan untuk
digunakan pada keadaan syok hipovolemik tak terkontrol dan pancreatitis akut.
Pembahasan
Kasus
kecelakaan di Indonesia tahun 2003 tercatat 24.692 dengan korban meninggal 9.
856 jiwa Kasus kecelakaan lalu lintas umumnya sangat rentan mengalami trauma
atau fraktur. Kondisi kegawatdaruratan yang perlu diantisipasi adalah kejadian
syok hipovolemik yang merupakan efek langsung dari perdarahan yang
mengakibatkan tubuh kekurangan volume darah (syok hemoragik)
Resusitasi cairan adalah kawasan yang menantang bagi
praktik keperawatan, khususnya pada pasien dengan syok hipovolemik. Penggunaan
cairan yang tepat dalam penanganan syok hipovolemik mulai banyak dikembangkan
dan diuji. Pemberian terapi cairan secara tepat dapat meningkatkan survival pasien dan menimalkan risiko
komplikasi terhadap pasien.
Jenis
resusitasi cairan ideal untuk shock hipovolemik adalah yang dapat meningkatkan
volume intravaskuler dan meningkatkan tekanan arteri rata-rata (MAP / Mean Arterial Pressure), cardiac output
(CO), dan perfusi. Pemberian cairan ini
lebih efektif bila dimasukan dengan volume kecil dan cepat serta memiliki efek
terus menerus pada keseimbangan kardiovaskuler setelah pemberian awal. Selain itu,
harus pula diberikan pada semua kondisi klien tanpa menyebabkan komplikasi.
Hypertonic salin solution atau cairan
salin hipertonik (HSS) adalah jenis cairan kristaloid dengan konsentrasi sodium
dan choride dan osmolalitas yang melebihi plasma normal. HSS tidak mengandung
potassium, kalsium, magnesium, dekstros atau buffer dan tidak memiliki efek
pada tekanan osmotic koloid. HSS tersedia dalam cairan NaCl 7%, 7.2%, dan 23%.
HSS memiliki keistimewaan dibanding
larutan kristaloid lainnya karena kemampuan ekspansi volume intravaskuler
dengan pemberian cairan jumlah kecil. Kemampuan ini dikarenakan oleh
konsentrasi natrium yang tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi osmolalitas
plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari interstitial ke intravaskuler
dan terjadilah keseimbangan.
Aplikasi
utama HSS adalah dalam mengontrol shock hemoragic. Volume yang dimasukan sama
dengan 10% kehilangan darah (4mL/kg) secara cepat memulihkan MAP dan CO pada
nilai dasar. HSD juga efektif diberikan
pada keadaan shock septic. Pada keadaan traumatic
brain injury, dimana sebagain pasien menunjukkan keadaan syok, pemberian
kristaloid secara agresif dapat meningkatkan ICP (intracranial pressure) dan
berdampak pada keadaan memburuknya brain
injury. HSS dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dan mengurangi ICP dengan
mendorong cairan dari ruang ekstravaskuler. Dengan penggunaan HSD, survival pasien dua kali lipat dibanding
penggunaan RL. Pada keadaan luka bakar, HSS dinilai cukup efektif dalam jumlah
yang lebih kecil untuk meminimalkan edema dan meningkatkan peluang survival. Pada keadaan gastric dilatation-volvulus (GDV),
yaitu kondisi obstructive, syok nonkardiogenic dimana pembeluh darah di abdomen
berdilatasi dan menurunkan vena balik sehingga darah menetap pada otot, system
portal, dan organ spleen. HSD dapat digunakan dan lebih efektif dibanding
cairan kristaloid.
Berbagai
penelitian menunjukkan keefektifan pemberian HSS dibandingkan dengan cairan RL
dalam meningkatkan ekspansi volume plasma. Peniingkatan volume plasma sekitar
30-40% dari volume darah total. Ekspansi volume plasma tercepat setelah
dimasukan (0 menit) dan kemudian mencapai keseimbangan dengan cairan
kompartemen ekstraseluler untuk mencapai ekspansi minimal dealam 1 hingga 3
jam. HSS dikombinasikan dengan 6% dextran 70 (Hypertonic Saline Solution
Combined with Dextran 6% 70 / HSD) mengalami kenaikan volume plasma tercepat,
yang mana dapat bertahan hingga 3 jam kemudian.
Penggunaan HSS dapat meningkatkan
fungsi kardiovaskuler dengan cepat yaitu meningkatkan CO, MAP, kontraktilitas
dan aliran balik bena serta reduksis resistensi perifer (PVR). Pengoptimalan
fungsi kardiovaskuler ini disebabkan oleh keefketifan ekspansi volume plasma
oleh HSS.
Syok hipovolemik mengakibatkan reduksi
volume sirkulasi darah sehingga terjadi vasokontriksi dan membatasi aliran
darah ke area nonvital. Reduksi aliran darah mengakibatkan pembesaran sel
endothelial sehingga lumen pembuluh
darah semakin sempit. Efek microvaskuler HSD selama periode iskemik adalah
meningkatkan aliran darah regional dengan mempertahankan pembesaran sel
endotheliat sehingga aliran darah difokuskan pada organ vital. HSS dapat
meningkatkan aliran darah ke spleen sehingga dapat mencegah iskemia dan
mencegah translokasi bakeri.
Pasien dengan syok hemoragic berefek
pada system imun yang meningkatkan risiko translokasi bakteri dan sepsis karena
iskemia. Pada kondisi tersebut, system pertahanan tubuh akan menurunkan
aktivitas fagositosisnya sehingga berdampak pada penurunan system imun dan
meningkatkan risiko infeksi. Dengan pemberian cairan HSS, mencegah penekanan
aktivitas system imun dalam keadaan syok sehingga risiko infeksi tetap dapat
dihindari.
HSD
dalam mengatasi trauma organ dan imuno supresi setelah trauma berat. Dimana HSD
menarik neutrofil dan monosit dalam respon inflamasi awal, dengan mengurangi
terjadinya trauma organ, resiko terjadinya infeksi nosokomial dan kegagalan
organ. Supresi signifikan pada respon sirkulasi monosit pada LPS muncul pada 12
jam pasca injury dan sebagian dipulihkan oleh terapi HSD saat waktu reperfusi.
Aplikasi
pemberian HSS dalam menangani syok hipovolemik yang tidak terkontrol (uncontrolled hemorrhagic shock / UCHS)
adalah dapat meningkatkan perdarahan, menurunkan MAP dan mengarah pada
mortalitas lebih cepat dibanding penggunaan cairan kristaloid. HSS harus dikontraindikasi
pada kasus UCHS karena dapat meningkatkan perdarahan dan kematian. Pada keadaan
pancreatitis akut, efektifitas dan keamanan HSS perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut.
Efek pemberian HSS harus dimonitoring
kondisi elektrolit dan osmolalitasnya dikarenakan oleh perpindahan mayor sodium
dan cairan melalui cairan kompartemen. HSS dikontraindikasi pada klien dengan
kondisi hipernatrimia, hiperosmolalitas, hipercloremia atau hipokalemia. Pada
kondisi dehidrasi, penggunaan HSS dapat meningkatkan keadaan dehidrasi. Pada
klien dengan koagulasi klinis, trombositopenia, atau disfungsi platelet yang
mengarahkan pada pemanjangan waktu pembekuan sehingga tidak dianjurkan
penggunaan HSS.
IMPLIKASI
DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN
Perawat bertanggung jawab atas administrasi
pemberian resusitasi cairan, yang meliputi penggunaan jenis
cairan yang tepat untuk mengatasi kehilangan cairan (syok hipovolemik) pada pasien kritis maupun
kondisi kegawatdaruratan. Meskipun berkaitan dengan cairan bukan
merupakan ranah keperawatan, namun menurut Teori Maslow tentang kebutuhan fisiologis, dimana manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya seperti
kebutuhan akan oksigen,
makanan, cairan, dan suhu serta hal-hal
lainnya yang berhubungan dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum
terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal.
Sehingga bahasan tentang cairan merupakan hal yang penting dalam keperawatan,
selain itu penangannya dapat berkolaborasi dengan dokter.
Berdasarkan pengamatan beberapa studi dalam makalah ini
menunjukkan bahwa penggunaan cairan HSD (Hipersaline
Dextran yaitu 7,5% saline dalam 6% dextran 70) merupakan resusitasi cairan
yang dapat menjadi alternatif pemberian cairan pada pasien dengan syok
hipovolemik. Dengan menggunakan HSD memungkinkan perawat dan para profesional
lain untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami syok hipovolemik sebagai
peningkatan angka survival pasien dan
pencegahan timbulnya komplikasi berupa kegagalan organ.
KESIMPULAN
Hypertonic Saline Dextran (HSD) adalah 6% dekstran 70
yang merupakan koloid hiperonkotik dengan NaCl 7,5% sebagai cairan resusitasi
alternatif untuk mengatasi syok hipovolemik. Dosis efektif HSD yang diberikan
yaitu 250 ml. HSD tidak terlalu mempengaruhi PPT, APTT, agregasi trombosit.
Cairan HSD yang diuji dalam studi ini dapat mengatasi
terjadinya syok hipovolemik, sehingga dapat meningkatkan survival pasien dan mencegah terjadinya kegagalan organ akibat
trauma seperti pada pasien dengan cedera kepala, luka bakar, gastric dilatation volvulus, pasien
dengan hipotensi (hipotensi akibat pembedahan, penyempitan aorta, pasien yang
sedang dialisa, perdarahan ulserasi lambung, atau peningkatan tekanan intra
kranial), dan imuno supresi setelah trauma berat. Cairan
HSD telah terbukti mengatasi syok hipovolemik pada berbagai pasien dengan
kondisi kegawatdaruratan dan kritis.
SARAN
PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan beberapa studi
pada jurnal ini, yang membahas tentang penggunaan cairan HSD pada pasien dengan
kegawatdaruratan dan kritis, disarankan untuk
perawat agar perawat mengetahui cara penanganan pasien dengan syok hipovolemik,
serta kondisi pasien apa saja yang dapat mengalami syok hipovolemik. Selain
itu, dapat menjadi masukan bagi rumah sakit untuk pengadaan cairan HSD dalam
penanganan pasien dengan syok hipovolemik. Bagi peneliti selanjutnya,
disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang efektifitas
penggunaan cairan HSD di Indonesia, mengingat penyediaan cairan HSD yang masih
terbatas.
DAFTAR
PUSTAKA
Adelmen, R.D., Solhaug, M.J. 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. In: Behrman
Bulger
EM, Cuschieri J, Warner K, et al. 2007. Hypertonic
resuscitation modulates the inflammatory response in patients with traumatic
hemorrhagic shock. [PubMed: 17414614]
Cooper
DJ, Myles PS, McDermott FT, et al. .2004. Prehospital
hypertonic saline resuscitation of patients with hypotension and severe
traumatic brain injury: a randomized controlled trial.
Corr,
P.J., & Matthews, G. 2009. The
Cambridge Handbook of Personality Psychology. New York: Cambridge
University Press
Eileen M. Bulger, MD, FACS. 2011. 7.5%
Saline and 7.5% Saline/6% Dextran for Hypovolemic Shock. University
of Washington, Harborview Medical Center.
Holcroft
JW, Vassar MJ, Perry CA, et al. 1989. Use
of a 7.5% NaCl/6% Dextran 70 solution in the resuscitation of injured patients
in the emergency room. [PubMed: 2471213]
Keys
and Johnson. 2011. Hypertonic Saline
Solution in Shock Resusitation. East Greenwich, Rhode Island
Nata
(Network for Advancement of Transfusion Alternatives). 2012. Hypertonic Saline Solutions for the Initial
Treatment of Patients with Traumatic Injuries.
Wade
CE, Kramer GC, Grady JJ, et al. 1997. Efficacy
of hypertonic 7.5% saline and 6% dextran-70 in treating trauma: a meta-analysis
of controlled clinical studies. [PubMed: 9308620
Tidak ada komentar:
Posting Komentar